Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang Allah SWT menghendaki kebaikan (Surga) baginya, niscaya ia dibuat pandai dalam ilmu agama." (HR. Al-Bukhari dari Muawiyah)

google search

Rabu, November 26, 2008

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB MENGIKUTI RUKYATUL HILAL PENGUASA MAKKAH

Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ruâyat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafii menganut ru`yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru`yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru`yat global, yakni mengamalkan ru`yat yang sama untuk seluruh kaum muslimin. Artinya, jika ru`yat telah terjadi di suatu bumi, maka ru`yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru`yat hilal.

Namun khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru`yat yang sama untuk Idul Adha. Ru`yat yang dimaksud, adalah ru`yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penguasa Makkah (Wali Makkah). Ru`yat ini berlaku untuk seluruh dunia.

Oleh sebab itu, kaum muslimin dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa` Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang. Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma`luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia karena mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia. Jadilah Indonesia sebagai salah satu negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab Idul Adha di Indonesia seringkali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).

Kewajiban kaum muslimin untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara`. Di antaranya adalah sebagai berikut : (1) Hadits A`isyah RA, dia berkata "Rasulullah SAW telah bersabda :
"Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum muslimin) berpuasa. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban." (al-fithru yauma yufthiru al-naasu wa al-adh-ha yauma yudhahhi al-naasu) HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafal :
"Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban."(ash-shaumu yauma tashuumuun wa al-fithru yauma tuftiruuna wa al-adh-ha yauma tudhahhuun) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, "Sebagian ahlul ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
"Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jamaah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang."(innama ma`na haadza ash-shaum wa al-fithr maal-jamaah wa azhiim al-naas) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699) Sementara itu Imam Badrudin Al-Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata: "Orang-orang (kaum muslimin) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka." Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits : an-naas), yaitu maksudnya bersama kaum muslimin pada umumnya di dunia, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara Khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam penjara
negara-kebangsaan (nation state) seperti saat ini setelah tahun 1924 Khilafah di Turki dihancurkan oleh Mustafa Kamal yang murtad.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum muslimin pada umumnya di dunia.
(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata : "Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
"Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru`yat. Jika kami tidak berhasil meruyat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meruyat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya." (ahida ilaynaa rasulullah SAW an nansuka li al-ru`yah fa-in lam narahu wa syahida syaahidaa adlin nasaknaa bi-syahaadatihimaa) (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-
Daruquthni berkata, Hadits ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah (penguasa Makkah). Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru`yat.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah) harus ditetapkan berdasarkan ruyat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ruyat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum muslimin, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah" (nahaa rasulullah SAW an shaumi arafata bi-arafaat) (HR. Abu Dawud, An Nasai dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafii berkata : "Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji."
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ain atas seluruh kaum muslimin. Sebab, jika disyariatkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (yakni hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Karena itu, atas dasar apa kaum muslimin di Indonesia justru berpuasa Arafah justru pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Sholat Idul Adha di luar waktunya dan malahan sholat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?

Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bidah yang munkar (bidah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan azab-Nya!

Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits :

"Berpuasalah kalian karena telah meruyat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru`yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !"

Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengamalan ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru. Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :

Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla` (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam. Selain itu, mathla` hilal
itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan hilal dari berbagai permukaan bumi yag berbeda-beda. Ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.

Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan ru`yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun "dalalah" (pemahaman) yang membolehkan pengamalan ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi : "(jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu !" maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Syaban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru`yat.

Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas “padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah (diterima apa adanya)-- maka hadits tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru`yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru`yat penguasa Makkah (bukan ru`yat kaum muslimin yang lain di berbagai negeri Islam).

Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan harihari raya Islam. Indonesia tidak boleh menentang ijma (kesepakatan) kaum muslimin di seantero pelosok dunia, karena mereka menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah ditetapkan berdasarkan ru`yat penduduk Hijaz.


Lagi pula, atas dasar apa Indonesia berani menentang ijma tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum muslimin seluruh dunia? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyiah) sehingga para umaro dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosa mereka sendiri dan juga dosa dari orang-orang yang mengamalkan bid'ah munkaroh ini hingga Hari Kiamat nanti?

Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini terjadi karena adanya perbedaan pemerintahan di Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa dan dipaksakan oleh kaum penjajah yang kafir.

Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bawah naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah inilah yang akan mempersatukan kaum muslimin di seluruh dunia serta akan memimpin kaum muslimin untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !

Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah !

Sumber: The house of Khilafah.org

Sabtu, November 22, 2008

Meneropong kebenaran ilmu hisab

Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc


Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta'ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً


“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta'ala berfirman:


يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ


“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)


Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:


إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ


“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.


Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.


Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.


Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta'ala berfirman:


يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ


“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)


Allah Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:


“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu 'alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:


لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ


“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da'imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta'ala berfirman:


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ


“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)


يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ


“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:


إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ


“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan wassallam perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:


"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu 'alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:


صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا


“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”


Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam juga bersabda:


لا تصوموا حتى تروا الهلال وتكملوا العدة، ولا تفطروا حتى حتى تروا الهلال وتكملوا العدة



“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat:
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam:

الشهر تسع وعشرون ليلة، لا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه إلا أن يغم عليكم فاقدروا له



“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.

Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata


فَاقْدِرُوا لَهُ

(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dengan lafadz:


فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ


“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:


فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ


“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:


فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ


“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.


Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)



Kamis, November 20, 2008

Masjid besar Kampusku, Islamic University of Madinah




Ini adalah Masjid Islamic University of Al-Madinah An-Nabawiyah, Masjid besar dalam universitas tempatku menuntut ilmu-ilmu Islam dahulu. Dulu ketika saya tinggal di gedung III atau disebut Al-Wihdah Ats-Tsalitsah, jika saya bangun tidur saat iqamah berkumandang, kemudian berwudhu sampai selesai, lalu beranjak pergi ke Masjid, sampai di perjalanan orang-orang sudah pada bubar dan melihat kita ketinggalan. karena jarak yang sangat jauh dari gedung asrama. perjalanan -+3o menit. Ya Allah, kapan saya bisa melihat-lihat kesana lagi sambil petik kurma...

Sabtu, November 15, 2008

Tabarruk (Ngalap Berkah)

oleh : Izzudin Karimi



Sebuah tradisi yang mengakar kuat, kebiasaan warisan leluhur yang mendarah daging dan adat yang dipegang layaknya sebuah agama bahkan mengalahkan agama, ngalap berkah atau berharap berkah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan tabarruk. Biasanya tradisi ini bergeliat dan mengemuka dalam momen-momen tertentu misalnya menjelang hadirnya bulan Ramadhan. Maka kita menyaksikan beberapa kalangan kaum muslimin mengadakan kegiatan-kegiatan dan ritual-ritual tertentu dengan maksud meraih berkah darinya. Sebagian dari mereka ada yang mendatangi tempat pemandian atau danau atau sungai di tempat tertentu, di sana mereka mandi dengan campuran kembang-kembang dalam rangka bersih diri demi menghadapi bulan puasa. Sebagian dari mereka membuat sesajen dalam bentuk makanan tertentu yang ditata dengan cara tertentu lalu dibawa ke tempat keramat, misalnya kuburan leluhur, setelah acara selesai maka makanan tersebut diperebutkan, yang memperebutkannya meyakini adanya berkah pada makanan tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkeliling sungkem atau sowan (menghadap) kepada orang-orang yang diyakini baik dan mulia untuk mengambil berkahnya demi kesempurnaan ibadah puasa. Dan masih banyak lagi tradisi-tradisi yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam rangka meraih berkah.

Pelurusan

Berkah atau barokah adalah kebaikan yang terkumpul pada sesuatu, perkataan atau perbuatan. Kebaikan pada sesuatu yang diharapkan bisa didapatkan harus dipastikan terlebih dahulu keberadaannya, jika kita berharap barokah dari sesuatu artinya kita berharap kebaikan darinya, pertanyaan yang patut disodorkan adalah, apakah kebaikan yang kita harapkan dari sesuatu itu memang benar-benar ada? Ataukah ia hanya berdasarkan kata Zaid dan Amru? Tidak semua yang kita yakini merupakan kebenaran, apakah tidak sia-sia jika berkah yang kita harapkan dari sesuatu ternyata hanya isapan jempol belaka?

Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang berhak menetapkan keberadan barokah pada sesuatu? Jika jawabannya adalah kita, maka hal ini tidak memiliki dasar yang bisa dipegang, sebab bisa saja Zaid meyakini keberadaan berkah pada sesuatu dan tidak dengan Amru, lalu keyakinan siapa yang lebih berhak dan lebih layak? Dari sini maka perkara ini harus diserahkan kepada penentu kebaikan dan ketidakbaikan pada sesuatu, dalam hal ini kita sebagai muslim, adalah Allah dan rasulNya. Apa yang dinyatakan oleh Allah dan rasulNya sebagai kebaikan dan mengandung kebaikan maka perkaranya memang demikian. Sebaliknya apa yang tidak dinyatakan oleh Allah dan rasulNya sebagai kebaikan dan mengandung kebaikan maka memang demikian. Dengan ini kita sebagai muslim berpegang kepada kaidah yang pasti dan kokoh.

Berpijak kepada dasar dan pertimbangan ini maka apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam bentuk kegiatan dan aktifitas tertentu yang biasa mereka lakukan menjelang puasa seperti yang dijelaskan di atas termasuk ke dalam usaha berharap berkah atau barokah dari sesuatu yang tidak berdasar kecuali hanya sebatas keyakinan atau katanya yang tidak berpijak kepada dalil pasti dari peletak dan penetap kebaikan yaitu Allah dan rasulNya. Dicari di sudut mana pun dalam Islam, dibuka dari sisi mana pun dalam Islam tidak akan ditemukan dan tidak akan didapatkan dasar yang melegalkan secara syar'i perbuatan-perbuatan tersebut. Tidak ada ayat al-Qur`an, tidak ada sunnah Rasulullah saw baik fi’liyah maupun qauliyah, tidak pula ada teladan dari para sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini yang menetapkan dan menganjurkan ritual-ritual mandi, membuat makanan sesaji dan sowan ke orang-orang yang dianggap sepuh atau shalih menjelang bulan puasa, alih-alih hal itu diyakini memberikan kebaikan dan pengampunan dosa. Dari mana?

Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti perkara-perkara di atas tidaklah berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw dan beliau mengingkarinya serta meluruskannya.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid al-Laitsi berkata, suatu kali kami berangkat ke Hunain bersama Rasulullah saw, sementara kami baru saja lepas dari kekufuran, pada saat itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara yang bernama Dzatu Anwath, mereka mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, pada saat kami melewatinya kami berkata kepada Rasulullah saw, ‘Ya Rasulullah saw buatkan Dzatu Anwath seperti mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Allahu Akbar, itu adalah terdisi orang-orang sebelum kamu, demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kamu telah berkata suatu perkataan seperti perkataan yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah sesembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyai sesembahan-sesembahan’ Musa menjawab, ‘Sungguh kamu adalah kaum yang tidak mengerti.’ Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.” At-Tirmidzi menshahihkannya.

Kita lihat sebuah pohon yang diyakini membawa berkah sehingga mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, padahal ia tidak demikian, maka ketika para sahabat meminta pohon yang sama kepada Nabi saw beliau mengingkarinya dengan keras. Walaupun sesuatu yang diharapkan berkahnya oleh sebagain kaum muslimin tidak harus berwujud pohon, akan tetapi apalah arti sesuatu itu jika ia diyakini seperti itu, bisa pohon, bisa hewan, bisa makanan, bisa pemandian dan bisa yang lain, intinya adalah berharap kebaikan dari sesuatu padahal Allah dan rasulNya tidak menyatakannya membawa kebaikan. Bukankah perbuatan seperti ini pantas masuk ke dalam firman Allah, “Amilatun nashibah.” (Al-Ghasyiyah: 3). Lelah beramal berharap kebaikan darinya akan tetapi karena ia keliru maka yang didapatkan hanyalah kelelahan.

Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Umar bin al-Khatthab ini, Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abis bin Rabi’ah berkata, aku melihat Umar bin al-Khattab mencium Hajar Aswad, dia berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu, tidak mendatangkan manfaat dan mudharat, kalau aku tidak melihat Rasulullah saw menciummu maka aku tidak akan menciummu.”

Perhatikan juga bahwa tidak seorang pun dari para sahabat Nabi saw yang menelusuri tempat-tempat yang tercatat dalam sejarah hidup Rasulullah saw seperti gua Tsur, gua Hira`, jalan hijrah dari Makkah ke Madinah, padang Badar dan sebagainya lalu mereka melakukan ibadah-ibadah atau amalan-amalan tertentu di sana pada saat-saat tertentu, padahal jika semua itu memang membawa berkah niscaya mereka akan melakukannya, bagaimanapun, jika ia memang berkah ia lebih layak daripada selainnya, dan para sahabat akan berlomba-lomba melakukannya, jika ia tidak maka selainnya lebih tidak. Adakah yang sadar?

Haruskah Hukuman Mati Dengan Pedang ?

oleh : Izzudin Karimi



Ada terpidana hukumam mati –terlepas dia dihukum bil haq atau bil bathil- yang katanya -penulis mengatakan, ‘katanya’ karena informasi yang penulis dapatkan simpang siur, wallahu a'lam, penulis tidak memastikan kebenarannya- menolak dieksekusi di depan regu tembak, dia meminta dipancung dengan pedang, alasan terpidana bahwa cara pertama bukan cara Islam, dia ingin dihukum dengan cara Islam, maka –sekali lagi penulis berkata, ‘katanya’- dia meminta dihukum pancung karena inilah –menurut yang bersangkutan- adalah cara Islam.

Terlepas dari benar tidaknya informasi ini, pertanyaan yang muncul dari persoalan ini, apakah hukuman mati atau di kalangan sebagian kaum muslimin dikenal dengan qishash, sebenarnya hukuman mati dan qishash tidak sama persis, ada titik perbedaan di antara keduanya, dari satu sisi hukuman mati hanya sebagian dari qishash, karena qishash tidak hanya berlaku untuk nyawa, akan tetapi ada qishash yang berkait dengan luka, ada qishash yang berkait dengan anggota tubuh dan ada qishash yang berkait dengan manfaat anggota tubuh, dari sisi ini maka qishash lebih umum daripada hukuman mati. Dari sisi yang lain, tidak semua hukuman mati itu karena qishash, ada hukuman mati di mana sebabnya bukan karena membunuh, jadi qishash bukan berarti hukuman mati dan hukuman mati bukan berarti qishash. Keterangan seperti ini terambil dari sabda Nabi saw dalam hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Mas'ud, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena satu dari tiga perkara; pezina muhshan, jiwa dengan jiwa dan peninggal agamanya penyempal dari jamaah (kaum muslimin).”

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah hukuman mati dalam Islam harus dilaksanakan dengan pedang? Atau dengan kata lain, apakah hukuman mati dalam Islam berarti pancung dengan pedang? Adakah cara lain selainnya?

Pertanyaan ini telah dibicarakan oleh para fuqaha` pada pembahasan tentang tata cara qishash, bagaimana qishash dilaksanakan terhadap pembunuh? Apakah dengan cara yang dia gunakan untuk membunuh korban? Misalnya dia membunuh dengan memukul kepala korban dengan batu maka dia diqishash dengan cara yang sama. Atukah dia hanya dibunuh dengan dipenggal dengan pedang?

Pendapat pertama adalah pendapat mayoritas fuqaha`, di antara mereka adalah Imam Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Pendapat kedua adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan riwayat yang masyhur dalam madzhab Ahmad.

Pendapat pertama berpegang kepada:

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al-Baqarah: 178). Qishash adalah perlakuan terhadap pelaku kejahatan seperti perlakuannya terhadap korban.

Firman Allah, “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194).

Firman Allah, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126).

Ayat-ayat ini menetapkan pelaksanaan balasan atau hukuman atas tindak kejahatan sesuai dengan bentuk tindak kejahatannya.

Pendapat ini juga berpegang kepada sunnah Rasulullah saw, di antaranya:

Dari Anas bin Malik bahwa seorang gadis ditemukan dalam keadaan kepalanya dihantam dengan dua batu, maka orang-orang menanyainya, ‘siapa yang melakukan ini terhadapmu? Apakah fulan, fulan?’ sehingga orang-orang menyebut nama seorang Yahudi maka gadis itu mengangguk, maka Yahudi ini ditangkap dan dia mengakui perbuatannya, maka Rasulullah saw memerintahkan agar kepala Yahudi dihantam dengan dua batu. (Muttafaq alaihi).

Dari al-Barra` dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menjadikan orang lain sebagai sasaran anak panahnya maka kami akan menjadikannya sebagai sasaran anak panah kami, barangsiapa membakar maka kami membakarnya dan barangsiapa menenggelamkan maka kami meneggelamkannya.” (HR al-Baihaqi).

Sementara itu pendapat kedua berpijak kepada:

Dari Syaddad bin Aus bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala sesuatu, jika kalian membunuh maka lakukanlah dengan baik, jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik…” (HR Muslim).

Hadits ini memerintahkan membunuh dengan baik dan cara yang baik adalah dengan pancung leher dengan pedang karena ia mempercepat proses kematian.

Dari Abu Bakrah dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Adi, Ibnu Adi berkata, “Seluruh jalan periwayatanya dhaif.”).

Tela’ah terhadap kedua pendapat

Pendapat pertama lebih kuat dari sisi dalil-dalilnya, di samping ia lebih memberi efek jera yang mendalam kepada para pelaku kejahatan dan calon pelaku kejahatan. Pendapat ini juga sejalan dengan prinsip keadilan. Namun sisi kelemahan pendapat ini nampak dari sudut penerapannya, karena penerapannya memerlukan patokan baku yang menjamin terwujudnya keadilan dan dari sudut ini hal tersebut rada sulit terlaksana. Misalnya, A membunuh B dengan cara menghantam kepalanya dengan martil sebanyak tiga kali, maka menurut pendapat pertama ini, A diqishash dengan cara dihantam dengan martil juga sebanyak tiga kali. Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana jika dengan tiga kali hantaman martil A tidak mati? Jika ditambah kali keempat berarti tidak adil, jika cukup hanya dengan tiga berarti qishash tidak terlaksana.

Sementara pendapat kedua kalah kuat dari sisi dalil, di samping ia kurang memberi efek jera kepada pelaku kejahatan, namun pendapat ini mudah dari sisi pelaksanaan.

Dari sini maka penulis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman mati dilaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban seperti pendapat pertama, kecuali jika hal ini tidak memungkinkan, karena ia mengandung kezhaliman, atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak mungkin dilakukan kepadanya sebagai qishash, misalnya jika dia memperkosa wanita lalu wanita itu mati karenanya, apakah pelaku diperkosa? Tidak mungkin, maka dalam kondisi ini kita menerapkan pendapat yang kedua. Di samping itu tidak semua hukuman mati karena tindak pembunuhan sebagaimana penulis telah menyinggungnya di depan.

Dalam kondisi di mana menerapkan pendapat pertama tidak mungkin, lalu pendapat kedua hendak diambil, apakah cara atau alat membunuhnya hanya sebatas pedang, dengan kata lain, cara selain dengan pedang bukan cara Islami? Penulis berpendapat, masalah ini perlu dikaji dengan tidak terburu-buru menetapkan bahwa penggal dengan pedang merupakan satu-satunya cara Islami dan selainnya bukan, menisbatkan sesuatu kepada Islam bukan perkara remeh, karena belum tentu Islam seperti itu, jika Islam bukan seperti yang dia katakan maka dia telah berdusta atas nama Islam.

Ada dua perkara yang layak diperhatikan dalam hal pancung dengan pedang yang kata sebagaian orang adalah cara Islami dan selainnya bukan. Pertama, Haditsnya dhaif, sebagaimana yang telah disinggung didepan. Kedua, pedang hanyalah alat di mana ia menerima perkembangan sejalan dengan kemajuan manusia. Nabi saw berperang dengan pedang, tombak, panah dan alat-alat lain yang tersedia pada zamannya. Apakah penggunaan alat-alat ini dalam perang termasuk perkara ta’abbudi yang tidak boleh dirubah? Ataukah karena memang ala-alat inilah yang tersedia pada masa itu? Yang kedua ini lebih zhahir dan lebih jelas. Penulis tidak berspekulasi jika mengatakan, sendainya bedil, pistol, senapan laras panjang dan lain-lainnya telah dibuat dan tersedia pada masa itu, niscaya Nabi saw tidak menolak menggunakannya.

Kembali kepada pedang dalam hukuman mati, ia digunakan pada masa itu lebih karena ia adalah cara yang memungkin dan termudah pelaksanaannya, berarti hal ini tidak menutup kemungkinan selain pedang bisa mengambil peran pedang dalam perkara ini. Wallahu a'lam.

Beriman kepada Taqdir

T A Q D I R

  • 1. Diantara rukun-rukun iman ialah beriman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-. Hal itu meliputi: Beriman kepada setiap nash tentang taqdir beserta urut-urutannya yaitu: (ILMU, PENULISAN, KEHENDAK, PENCIPTAAN).-(1)

    Iman bawasanya tidak ada yang bisa menolak QADLA’ (taqdir) Allah dan yang tidak ada yang bisa membantah hukum-Nya.

  • 2. Iradah (keinginan) dan perintah yang terdapat di didalam Al-Kitab As-Sunnah ada dua macam:

    • a). Iradah Kauniyah Qadariyah artinya: Kehendak dan perintah yang sifatnya KAUNI QADARI (Sunnatullah-pent.).-(2)

    • b). Iradah Syar’iyyah (keinginan yang bersifat syar’i) yakni yang dibarengi mahabbah (cinta) dan merupakan perintah syar’i.-(3)


    Makhluk mempunyai keinginan dan kehendak, namun kehendak dan keinginan mereka mengikut pada kehendak dan keinginan Al-Khaliq.

  • 3. Mendapatkan hidayah atau sasatnya seorang hamba, mutlak di tangan Allah. Maka di antara mereka ada yang ditunjuki oleh Allah atas karuni-Nya, dan diantara mereka ada yang berhak mendapat kesesatan berdasarkan keadilan-Nya.

  • 4. Hamba dengan seluruh pekerjaan mereka termasuk makhluk-makhluk Allah Ta’ala, Dzat yang tiada Pencipta selain Dia.

    Jadi Allah itu Yang mencipta perbuatan-perbuatan hamba, sedangkan para hamba melakukan perbuatan-perbuatan itu betul-betul HAKIKI.

  • 5. Menetapkan adanya hikmah dalam perbuatan-perbuatan Allah Ta’ala dan menetapkan adanya “sebab” (bagi sesuatu kejadian-pent.) berdasrkan kehendak Allah.

  • 6. Ajal telah tertulis, rizqi telah terbagi dan kebahagiaan serta kesengsaraan juga telah tertulis bagi manusia sebelum mereka diciptakan.

  • 7. Berdalih dengan (alasan bahwa ini) TAQDIR hanyalah ada bagi suatu musibah atau penaykit. Adalah tidak diperbolehkan berdalih (alasan bahwa ini) TAQDIR bagi suatu perbuatan cela atau perbuatan dosa, akan tetapi hal itu (justeru) wajib untuk di-TAUBATI, dan pelaku perbuatan itu adalah seorang yang tercela.

  • 8. Mengembalikan (suatu kejadian) hanya sampai kepada sebab, hukumnya SYIRIK dalam tauhid. Sedangkan berpaling sama-sekali dari “sebab” merupakan tindakan tercela di dalam syariat. Dan menolak adanya “sebab” berarti bertentangan dengan syara’ dan akal. Tawakal bukanlah berarti menolak untuk memperhatikan “sebab”.



Keterangan

  • (1). Berdasrkan riwayat yang shahih, lima puluh tahun sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya, dia sudah mengetahui taqdir yang harus ditetapkan bagi mereka. Sedangkan ketepan taqdir terjadi setelah diciptakannya Al-Arsy’. (Shahih Muslim 2: 300)

    Mengenai penulisan Taqdir, terjadi ketika pertama kali Allah menciptakan Al-Qalam (pena). Allah berfirman kepada al-Qalam: Tuliskan!. Al-Qalam menjawab: Wahai Rabb. Apa yang harus aku tulis? Allah menjawab: “Tuliskan taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat”. (Abu Daud: 4700 dari Ubaidah bin As-Shamit radhiallahu ‘anhu), (Periksa Syarhut-Thawawiyah hal. 217-218)

    Dengan demikian jelaslah bahwa prosenya: Ilmu Allah Dia mengetahui apa yang bakal ditetapkan bagi makhluk-Nya lima puluh tahun sebelum mereka diciptakan: kemudian penulisan, setelah itu Dia berkehendak untuk mencipatakan (Wallahu A’lamu bis-Shawab).

  • (2). Iradah kauniyah Qadariyah ialah keinginan Allah untuk memberikan ketetapan/taqdir-Nya. Yakni: apa yang diinginkan pasti terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tidak terjadi, misalnya, mati, hidayah, sesat dan seterusnya.

    Hal ini adalah seperrti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 2: 253) yang artinya :“Akan tetapi Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya”.. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 59-60).

  • (3). Iradah Syari’ah ialah keinginan Allah agar manusia melalakukan yang Dia inginkan dan Dia kehendaki, misalnya: manusia dikehendaki untuk menurut perintah-Nya.

    Hal itu karena Allah sayang kepada mereka, Dia ingin memberikan ridla kepada hamba-Nya, tetapi syaratanya mereka harus mengikuti keinginan-Nya.

    Oleh karena itu Allah ingin menetapkan sesuatu yang mudah bagi mereka dan tidak mengendaki kesulitan bagi mereka.

    Firaman Allah: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (Qs Al-Baqarah 2: 185)


Oleh: Syaikh Abdul Karim Al-Aql

Shalat wanita lebih utama di rumah atau di Masjidil Haram

Apakah Shalatnya Seorang Wanita di rumah Lebih Utama Ataukah di Masjidil Haram

Tanya :

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di Masjidil Haram?

Jawab :

Shalat sunah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : " Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu." Karena itulah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda: "Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lainnya kecuali Masjidil Haram." Berdasarkan sabda ini maka kami katakan: Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Anda sedang berada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipat gandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalat fardhu, karena shalat-shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjidmasjid itu, adapun shalat-shalat Sunah maka pahalanya tidak dilipat gandakan. Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahala adalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat, hanya saja shalat sunat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah, bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama. Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam Masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram, maka itu lebih baik seratus ribu kali kebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid-masjid lainnya, dan shalat tahiyyatul masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya. Begitu juga jika Anda datang dan masuk ke dalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah ini lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupa dari pada di masjid-masjid lainnya. Masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan Ramadhan), apakah bagi wanita lebih utama melaksanakannya di Masjidil Haram atau di rumah? Jawabannya adalah; Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakan di rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka Masjidil Haram seperti masjid-masjid lainnya. Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahlul ilmi mengatakan: Bahwa yang lebih utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiallaahu 'anhu dan Ali bin Abu Thalib Radhiallaahu 'anhu, bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah ini saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsman itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya tidak menjelaskan bahw beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjamaah. Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di Masjidil Haram? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika ada nash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: " Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain)." Namun jika kehadirannya dapat menimbukan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwa shalat di rumahnya adalah lebih utama.

Menuju Rumah Tangga Harmonis 7

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


  • Pernikahan Merupakan Petunjuk Para Nabi dan Rasul ‘alaihum salam.

    Barangsiapa yang membencinya, sungguh dia telah menyelisihi sunnah dan menentang petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

    أَمَا وَاللّهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلّهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.

    "Demi Allah!! Sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala di antara kalian. Tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, aku pun menikahi wanita-wanita. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukan termasuk umatku." (Muttafaq ‘alaih).

    Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda,

    حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ.

    "Yang paling aku sukai dari dunia kalian adalah wanita, minyak wangi (parfum), dan shalat sebagai penyejuk mata hatiku." (HR. an-Nasa`i, dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).

  • Pernikahan sebagai realisasi dari memenuhi panggilan Allah Subhaanahu wa ta'ala.

    Sebagaimana firmanNya,

    وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

    "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui." (An-Nur: 32)

  • Pernikahan adalah panggilan fitrah

    Barangsiapa yang meninggalkannya dan mencari selainnya, sungguh ia telah menyelisihi fitrah tersebut. Dan barang-siapa yang menyelisihinya, niscaya ia berada di jurang kehancuran.

    Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman,

    فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ

    "(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (Ar-Rum: 30)

  • Pernikahan merupakan salah satu nikmat Allah Subhaanahu wa ta'ala yang paling agung bagi hamba-hambaNya, jalan menggapai kasih sayang, langkah menuju bahagia, tanda kemapanan dan sarana untuk meraih anugerah.

    Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman,

    وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

    "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar-Rum: 21)

  • Pernikahan adalah jalan syar’i untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan syahwat secara halal.

    Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman,

    وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

    "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (Al-Mu’minun: 5-7)

  • Pernikahan sebagai perisai para pemuda dan pemudi dari fitnah dan penyimpangan, kefasikan dan kemaksiatan.

    Oleh karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan kepada para pemuda untuk segera menikah sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam,

    يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

    "Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian ada yang mampu menikah, maka hendaklah ia menikah. Sungguh ia (pernikahan) dapat lebih menahan pandangan dan dapat lebih memelihara kemaluan. Dan barang-siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Sungguh ia adalah peredam baginya." (Muttafaq ‘alaih)

  • Pernikahan jalan mudah dan telah dimudahkan (oleh Allah Subhaanahu wa ta'ala) untuk meraih pahala dari Allah Subhaanahu wa ta'ala.

    Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita bahwa sebaik-baik infak adalah infak yang diberikan kepada istri dan keluarga.

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

    دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَفْضَلُهُمْ الدِّيْنَارُ الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكُ.

    "Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan satu dinar yang kamu infakkan untuk membebaskan budak, dan satu dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang kamu infakkan untuk istrimu, maka yang paling utama adalah satu dinar yang kamu infakkan untuk istrimu." (HR. Muslim).

    Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pula kepada Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu,

    وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغشيْ بِهَا وَجْهَ اللّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ امْرَأَتِكَ.

    "Sungguh tidaklah kamu menginfakkan suatu infak semata untuk mencari wajah Allah, melainkan kamu mendapatkan pahala padanya. Bahkan apa yang kamu letakkan pada mulut istrimu." (Muttafaq ‘alaih(

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda,

    إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا، فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ.

    "Jika seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya semata-mata mengharapkan wajah Allah, maka nafkah tersebut adalah sedekah baginya." (Muttafaq ‘alaih.(

    Dan yang lebih agung dari itu semua adalah pahala yang diberikan kepada suami dan istri tatkala melakukan jima’ (bersetubuh) dan hubungan intim.

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

    وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلُ اللّهِ! أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالُ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.

    "Dan dalam persetubuhan kalian terdapat sedekah" Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah! Salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya). Apakah ia mendapatkan pahala padanya? Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Bagaimana menurutmu, seandainya seseorang menyalurkan syahwatnya pada suatu yang haram, apakah ia berdosa? Maka demikian pula jika ia menyalurkannya pada suatu yang halal, ia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)

  • Pernikahan yang sukses adalah yang dibangun di atas dasar-dasar syar’i yang benar.

    Di antara dasar-dasar tersebut yang paling agung adalah keshalihan pasangan suami istri.

Menuju Rumah Tangga Harmonis 6

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مِنْ تَرْضَوْنَ دِيْنُهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ.

"Jika datang kepadamu seorang lelaki yang kamu sukai (ridhai) agama dan akhlaknya, nikahkanlah ia (dengan putrimu), jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi ini." (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).

Seseorang bertanya kepada al-Hasan rahimahullah, "Kepada siapa selayaknya aku menikahkan putriku?" Ia menjawab, "Kepada lelaki yang bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala. Sesungguhnya jika ia mencintai putrimu, ia tentu akan memuliakannya. Dan jika ia membencinya, niscaya ia tidak akan berbuat aniaya terhadapnya." (Lihat, Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah, 2/11, pent)

Suami yang memiliki agama, sudah barang tentu tidak akan berbuat aniaya terhadap istrinya saat ia marah, tidak mendiamkannya tanpa sebab, tidak ber-sikap buruk ketika mempergaulinya, dan juga tidak menjadi fitnah bagi istri/keluarganya dengan membawa sesuatu yang mungkar (tidak baik), atau alat-alat yang melalaikan (musik dan semisalnya, pent) ke dalam rumah. Akan tetapi ia akan berbuat dan bersikap seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ.

"Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku". (HR. Ibnu Majah).

Maka sudah sepatutnya para wali perempuan untuk selalu melihat dan mengutamakan agama dan akhlak seorang lelaki yang akan menjadi suami bagi putrinya. Karena sesungguhnya seorang perempuan, akan menjadi tawanan dengan pernikahannya tersebut. Sedangkan seorang wali yang menikahkan putrinya dengan lelaki fasik dan gemar berbuat maksiat/bid’ah, sungguh ia telah berbuat aniaya terhadap putri dan dirinya sendiri.

Menuju Rumah Tangga Harmonis 5

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

"Wanita dinikahi karena empat hal, yakni: Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka raihlah keberuntungan dengan memilih wanita karena agamanya, jika tidak, maka merugilah" (HR. Muslim).

Seorang istri yang memiliki agama, ia senantiasa patuh kepada suaminya dalam segala hal selain maksiat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala, menjaga dirinya dan harta suaminya, tatkala sang suami tak ada di sisinya. Ia tidak meninggalkan dan mengabaikan hubungan suami-istri, dan tidak keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, ia tidak berpuasa sunnah sedangkan suami sedang bersamanya kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak mengizinkan siapa pun yang tidak disukai suaminya masuk ke dalam rumahnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَصُمِ امْرَأَةٌ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنْ فِيْ بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

"Janganlah seorang istri berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya. Dan jamganlah ia memperkenankan seseorang masuk ke dalam rumah suaminya sedangkan ia bersamanya kecuali dengan izinnya." (Muttafaq ‘alaih)

Menuju Rumah Tangga Harmonis 4

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


  • Memiliki agama.
  • Berperangai baik.
  • Cantik.
  • Maharnya murah.
  • Gadis perawan.
  • Memiliki banyak keturunan (berpotensi punya banyak anak).
  • Memiliki garis keturunan yang shalih.

  • Pernikahan merupakan kekuatan (power) umat, membentuk generasi-generasi pemuda baru (kader umat) dan dapat menggentarkan musuh-musuh Islam.

    Pernikahan adalah sarana untuk meningkatkan kwantitas umat dan memakmurkan bumi Allah Subhaanahu wa ta'ala. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat menganjurkan untuk menikahi wanita-wanita yang memiliki banyak keturunan (al-walud), sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam,

    تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

    "Nikahilah wanita yang penyayang lagi memiliki banyak keturunan, maka sesungguhnya aku akan berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di depan umat lainnya pada hari Kiamat." (HR. Abu Daud, an-Nasa`i dan Ahmad).

  • Pernikahan sebagai sarana perkenalan dan pertemuan di antara beberapa keluarga.

    Sehingga terjalinlah kasih sayang dan persaudaraan di antara kaum muslimin. Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman,

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

    "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (Al-Hujurat: 13)

    Sejarah telah membuktikan, bahwa banyak suku-suku dan bangsa-bangsa yang dahulu tidak pernah akur, saling berseteru satu dengan yang lainnya, bahkan seakan menjadi permusuhan yang abadi dan peperangan yang tak ada akhir-nya, maka tatkala terjadi pernikahan silang di antara suku-suku dan bangsa-bangsa yang berseteru tersebut, hilanglah permusuhan dan padamlah api kemarahan, berganti kasih sayang dan persaudaraan serta rahmat dan saling tolong-menolong di antara mereka.

Menuju Rumah Tangga Harmonis 3

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


Hendaklah seorang suami senantiasa bertakwa kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala dalam mempergauli dan memperlakukan istrinya. Karena ia adalah amanah yang akan dipertanyakan oleh Allah Subhaanahu wa ta'ala pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

اِسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

"Perlakukanlah wanita-wanita itu dengan baik". (Muttafaq ‘alaih).

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang berbuat zhalim terhadap wanita. Sebagaimana beliau pernah berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: الْيَتيْمِ وَالْمَرْأَةِ.

"Ya Allah sesungguhnya aku akan menjadi penghalang (orang yang menganiaya) hak dua golongan yang lemah, yaitu; anak yatim dan wanita." (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan).
*

Hendaklah seorang suami memiliki perangai dan tabiat yang mulia. Janganlah ia mencaci istrinya, menjelek-jelekkannya, dan memdiamkannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَفْرُكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.

"Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’ninah, jika ia tidak menyukai suatu perangainya, maka ia akan menyukai perangai yang lain dari dirinya." (HR. Muslim).
*

Hendaklah seorang suami banyak bersabar dan baik dalam bermuamalah dengan istrinya. Maka sebaik-baik kalian adalah yang menjaga persahabatan dan kasih sayang!
*

Hendaklah seorang suami memiliki kecemburuan terhadap istrinya, tetapi tidak berlebihan, sehingga berburuk sangka kepadanya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لِأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللّهُ أَغْيَرُ مِنِّيْ.

"Apakah kalian merasa kagum dengan rasa cemburunya Sa’ad? Sungguh aku lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dariku." (HR. Muslim).
*

Hendaklah seorang suami bijaksana dalam menyikapi kesalahan dan kekeliruan. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi indah, dan tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, melainkan ia akan memperburuknya.
*

Hendaklah seorang suami memberikan nafkah kepada istrinya dengan ma’ruf (layak) sebagaimana Allah Subhaanahu wa ta'ala berfirman,

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (Al-Isra’: 29) [Maksudnya: Tidak kurang dan tidak berlebihan, pent.]

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya, “Apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami? Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Kamu memberi makan kepadanya, jika kamu makan. Dan kamu memberi pakaian untuknya, jika kamu memakai pakaian. Dan janganlah kamu memukul wajah, menjelek-jelekkannya, dan jangan pula kamu mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR. Ahmad dan Abu Daud(.
*

Hendaklah seorang suami mempelajari fiqih kewanitaan sehingga ia mengetahui cara menggauli istrinya saat haidh dan nifas, dan hendaklah ia mengajarkan kepada istrinya tentang masalah tersebut, jika ia belum mengetahuinya.
*

Hendaklah seorang suami mengerti, bahwasannya tidak boleh baginya melakukan jima’ (bersetubuh) dengan istrinya waktu haidh, dan tidak pula pada duburnya. Dan dibolehkan baginya untuk bermesra-mesraan dengannya waktu haidh, kecuali melakukan jima’ (bersetubuh), karena hal tersebut diharamkan.
*

Di antara etika melakukan jima’: Memulai dengan basmalah (membaca bismillah dan berdoa), bersenda gurau, berpelukan dan mencium sebelum melakukannya. Karena hal itu lebih dapat memberikan kepuasan bagi suami dan istri. Dan jika seorang suami telah selesai menunaikan hajatnya, maka hendaklah ia tidak tergesa-gesa (menyudahinya), sampai sang istri mendapatkan haknya. Dan barangsiapa yang ingin mengulanginya (bersetubuh), maka hendaklah ia membasuh kemaluannya, lalu berwudhu.
*

Hendaklah seorang suami menjauhkan diri dari menyebarluaskan rahasia-rahasia hubungan suami-istri. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِيْ إِلَى الْمَرْأَةِ وَتُفْضِيْ إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ شِرَّهَا.

"Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah Subhaanahu wa ta'ala pada hari Kiamat adalah seorang suami yang menggauli istrinya, dan istrinya menggaulinya, kemudian ia sebarkan rahasia istrinya." (HR. Muslim).

Suatu ketika dikatakan kepada sebagian orang-orang shalih yang ingin menceraikan istrinya, "Apa yang membuatmu ragu kepada istrimu?" Lalu ia menjawab, "Orang yang berakal tak akan membuka rahasia." Maka tatkala ia telah menceraikannya, ia pun kembali ditanya, "Mengapa kamu menceraikannya?" Lalu ia pun menjawab, "Apa urusanku dengan istri orang lain?"

Menuju Rumah Tangga Harmonis 2

oleh : Departemen Ilmiah Darul Wathan


Hak seorang suami atas seorang istri merupakan seagung-agungnya hak setelah hak Allah Subhaanahu wa ta'ala dan RasulNya shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dalam hal ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لَوْ جَازَ لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.

"Kalau aku boleh menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya." (HR. at-Tirmidzi, dan ia berkata, "Hasan Shahih").

  • Hendaklah seorang istri merasa cukup dan ridha dengan pemberian yang sedikit dari sang suami. Sungguh para wanita Salaf, apabila suaminya hendak berangkat dari rumahnya, ia berkata ke-padanya, "Jauhkanlah (wahai suamiku) mencari nafkah yang haram. Sesungguhnya kami mampu bersabar menahan lapar, akan tetapi kami tidak mampu bersabar menahan panasnya api Neraka!"

  • Hendaklah seorang istri menjauhkan diri dari berbuat durhaka kepada suaminya, meninggikan suara ketika berbicara kepadanya, dan selalu mengeluhkan tentang suaminya kepada keluarganya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita,

    أَيْنَ أَنْتِ مِنْ زَوْجِكِ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ.

    "Bagaimana sikapmu terhadap suamimu?! Sesungguhnya ia adalah surga dan nerakamu!" (HR. an-Nasa`i dan Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).

  • Hendaklah seorang istri tidak meminta kepada suaminya seorang pembantu yang masih muda, karena hal itu dapat menjadi sebab sang suami menceraikannya.

  • Hendaklah seorang istri mengetahui bahwa hak suami harus lebih diutamakan dari semua hak kerabat/keluarganya. Jika mendapatkan hak-hak yang saling bertabrakan, maka ia harus tetap mengutamakan hak suami, dan hendaklah ia mengabaikan yang lainnya.

  • Hendaklah seorang istri menjaga harta suaminya, tidak menggunakannya tanpa sepengetahuannya. Jika ia bersedekah dari hartanya dengan izinnya, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala suaminya. Jika ia bersedekah tanpa ridhanya, maka suaminya mendapatkan pahala, sedangkan ia mendapatkan dosa.

  • Hendaklah seorang istri menghindar dari pergaulan dengan para tetangga yang tidak baik, teman-teman yang buruk perangainya, yang dapat mempengaruhinya sehingga ia bersikap buruk terhadap suaminya, dan dapat menjadi sebab terjadinya perselihan antara ia dengannya, serta dapat merendahkan martabat dan harga diri suami di hadapannya.

  • Hendaklah seorang istri bersikap sabar atas perlakuan suaminya yang kurang baik. Hendaklah ia bijaksana dalam menyikapinya tatkala sedang emosi, niscaya suaminya akan memujinya pada waktu ia senang. Dan hendaklah ia juga mengetahui, bahwa problematika dalam rumah tangga tidak akan menjadi besar kecuali jika hal itu disikapi dengan keras kepala dan kesombongan. Maka janganlah ia menghancurkan rumah tangganya dengan sikap keras kepala dan kesombongan.

  • Hendaklah seorang istri memenuhi panggilan suaminya dalam situasi dan kondisi apa pun. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

    مَنْ دَعَا امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ عَلَيْهِ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.

    "Barangsiapa mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia enggan, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi." (Muttafaq ‘alaih)

  • Hendaklah seorang istri tidak menyebutkan atau menceritakan ‘sifat’/keistimewaan wanita lain kepada suaminya. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang hal tersebut. Sebagaimana sabda beliau,

    لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةَ فَتَصُفُّهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا.

    "Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menceritakan wanita tersebut kepada suaminya, seakan-akan suaminya melihatnya (wanita tersebut)." (Muttafaq ‘alaih).

  • Hendaklah seorang istri mampu menjadi pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, dengan menyuruh mereka berbuat baik, dan melarang mereka dari perbuatan mungkar (tidak baik). Serta tidak meridhai jika ada sesuatu yang mungkar di rumahnya. Dan hendaklah ia mengerti bahwasanya tidak ada ketaatan kepada satu makhluk pun dalam maksiat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala.