Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang Allah SWT menghendaki kebaikan (Surga) baginya, niscaya ia dibuat pandai dalam ilmu agama." (HR. Al-Bukhari dari Muawiyah)

google search

Jumat, Oktober 31, 2008

KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (3-3)


Dapatkan SMS Dakwah Gratis..! Daftarkan No. Simcard HP Anda! :: Cinta Rasulullah 'alaihish sholatu wassalaam ::


Sunnah Allah dalam seluruh peristiwa baik yang terjadi di masa lampau maupun di masa yang akan datang terbagi dua bagian, yaitu:

Pertama, sejumlah peristiwa, segala sesuatu yang ada di jagad (alam semesta), hukum-hukum syari’at, hukum-hukum taqdir dan hukum-hukum balasan tidak akan berubah dari apa yang telah diketahui manusia, dan mereka mengetahui sebab-sebabnya. Bagian ini juga tercakup dalam qadar dan qadhanya Allah SWT. Dari pengetahuan ini dapat diambil faidah yaitu mengetahi kesempurnaan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan dan syari’at-Nya. Berkenaan dengan sebab dan akibat, bahwa orang yang menempuh jalan-jalannya dengan sempurna, niscaya akan memetik hasil dan buahnya. Sedang orang yang tidak menempuhnya atau menempuhnya dengan tidak sempurna, niscaya ia tidak akan memetik hasil atau buahnya yang menyertai amal-amal baik menurut hukum syari’at maupun hukum taqdir. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diwajibkan bagi seorang hamba menemukan dan mengusahakan sebab-sebab yang bersifat keagamaan serta keduniaan yang bermanfaat lalu dibarengi dengan permohonannya kepada Allah serta menghaturkan pujian kepada Rabbnya supaya memberinya kemudahan serta dimudahkan sebab-sebabnya atau alat-alat yang dipergunakannya sesuai dengan kemampuannya.

Kedua, kejadian-kejadian sebagai mu’jizat para nabi yang terjadi secara berturut-turut dalam selang waktu; yang tidak akan terjadi kejadian serupa pada seluruh berita dan seluruh generasi mengetahuinya. Demikian juga halnya dengan karamah (kemuliaan) yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya seperti dikabulkannya sejumlah permohonan, dihilangkannya sejumlah penderitaan, tercapainya keinginan yang bermacam-macam, terhindarnya sejumlah rintangan yang tidak mampu dihindari oleh seorang hamba, terbukanya pintu-pintu Rabbani, turunnya ilham-ilham Ilahi serta memancarnya cahaya-cahaya yang Allah pancarkan di dalam hati mahluk-mahluk-Nya tertentu, sehingga mereka mendapatkan keyakinan, ketentraman serta ilmu yang bermacam-macam yang tidak dapat dicapai hanya dengan pencarian dan mengerjakan sebab-sebab. Di antara pertolongan Allah kepada para rasul dan pengikut-pengikut mereka dan tipu daya-Nya kepada musuh-musuh mereka merupakan bukti pada kebanyakan waktu. Sunnah Allah pada bagian yang ini di hadapan mahluk bukanlah merupakan petunjuk yang mengarahkan mereka kepada sebab-sebab terjadinya kejadian-kejadian tersebut dan pada dasarnya mereka tidak akan dapat mengetahui hakikatnya, karena kejadian-kejadian itu semata-mata karena kekuasaan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu; yang di dalamnya termasuk menciptakan sebab-sebab, hukum-hukum serta ketentuan-ketentuan di luar jangkauan pikiran mahluk. Penginderaan dan percobaan mereka dari berbagai segi, niscaya tidak akan mengantarkan mereka kepada pengetahuan mengenai hakikat kejadian-kejadian itu. Dengan kejadian-kejadian tersebut semestinya mereka beriman kepada para rasul dari rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir dan mengikuti petunjuk para rasul baik mereka yang hidup terdahulu maupun mereka yang hidup kemudian. Dengan kejadian-kejadian itu maka diketahuilah keagungan Allah dan sesungguhnya ubun-ubun setiap hamba berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, sehingga apa yang dikehendaki Allah niscaya terjadi serta apa yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak akan terjadi. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui kebenaran risalah yang dibawa para rasul. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui sunnah Allah pada bagian yang pertama. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada jalan bagi hamba-hamba Allah di dunia ini untuk mengetahui hakikat kejadian hari kiamat dan hakikat surga dan neraka, melainkan mereka hanya mengetahui sebatas pengetahuan yang telah diajarkan para rasul dan yang telah diberitakan kitab-kitab suci, dan tidak ada jalan bagi penghuni bumi untuk mengetahui hakikat penghuni langit. Juga tidak ada jalan bagi mereka (penghuni bumi) untuk dapat menghidupkan orang-orang yang mati serta mengadakan ruh-ruh pada benda-benda mati, dimana kejadian-kejadian tersebut adalah bagian yang besar dari kejadian-kejadian alam.

Meskipun kami memperpanjang pembahasan tentang masalah tersebut, tetapi sikap yang muncul dalam menyikapinya tidak lebih dari dua sikap, yaitu:

Pertama, kaum zindiq modern yang mengingkari adanya Pencipta dan segala yang diberitakan para rasul dan kitab-kitab suci samawi seperti hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak menetapkan keyakinan berdasarkan ilmu-ilmu, melainkan berdasarkan penginderaan dan percobaan mereka yang terbatas yang disandarkan kepada sebagian ilmu alam dan mereka tidak mau bersandar kepada selainnya. Mereka menyangka bahwa alam dunia ini dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya tidak mungkin dirubah oleh sesuatu, atau tidak mungkin terjadi perubahan pada salah satu dari sebab-sebabnya. Kalaupun hal itu terjadi, niscaya hal itu hanya kebetulan tanpa ada yang merubahnya. Mereka menyangka bahwa alam ini adalah sebuah alat yang berjalan dengan sendirinya dan menurut tabiatnya, dimana ia tidak memiliki Pengatur, Rabb dan Pencipta. Semua ahli agama mengetahui kesombongan dan kebodohan kaum zindiq tersebut, karena mereka tidak memiliki agama sama sekali, sehingga akal mereka melepaskan (mengabaikan) kebenaran, karena mereka telah mengingkari kebenaran yang sangat jelas dan nyata yang telah dijelaskan dalam sejumlah dalil dan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka dibingungkan dengan akal mereka yang tidak waras dan pandangan mereka yang kacau. Meskipun mereka mengetahui keadaan mereka, akan tetapi mereka enggan menerima kebenaran karena kosombongan dan kekufuran mereka.

Kedua, sebagian ilmuan modern yang menyatakan membela Islam yang terlibat langsung dalam suatu perdebatan dengan para zindik dalam masalah itu memaksakan ijtihad mereka atau lebih tepatnya tipu daya mereka supaya sunnah Ilahiyah sesuai dengan kehendak mereka dan menjelaskan urusan-urusan akhirat sesuai dengan pemahaman yang dipahami orang-orang yang didasarkan kepada penginderaan serta percobaan mereka, sehingga mereka menafsirkan sejumlah mu’jizat dengan salah. Mereka mengingkari ayat-ayat dan bukti-bukti nyata, dimana mereka tidak memperoleh manfaat selain kemadharatan yang menimpa diri mereka dan orang yang membaca buku-buku karya mereka yang membahas masalah tersebut. Karena kelemahan iman mereka kepada Allah SWT, sehingga mereka menafsirkan mu’jizat-mu’jizat para nabi dengan penafsiran yang keliru yang menyebabkan timbulnya pengingkaran terhadap mu’jizat-mu’jizat itu sendiri dan pengingkaran terhadap para nabi, yang merupakan suatu kejadian besar dari qadha dan qadar Allah Ta’ala. Pandangan-pandangan yang disangkakan mereka tidak menghasilkan keteguhan dalam mengikuti petunjuk serta agama. Bahkan mereka bertambah giat dalam membuat tipu daya dalam madzhab mereka, karena mereka berpendapat sebagaimana pendapat yang dikemukakan para zindiq yang merujukan nash-nash agama, mu’jizat-mu’jizat para nabi dan hal-hal ghaib kepada pengetahuan-pengetahuan mereka yang sangat terbatas yang berdasarkan percobaan dan penginderaan. Sungguh besar bencana yang menimpa dan kesalahan yang terjadi, akan tetapi karena lemahnya penglihatan dan besarnya kekaguman terhadap para zindiq modern sehingga memaksa mereka tunduk dan mengikuti pendapat para zindiq tersebut. Tidak ada daya dan upaya, kecuali atas pertolongan Allah Ta’ala.

Faidah lainnya, bahwa di antara akibat terburuk yang menimpa seseorang adalah menjadi pemimpin dan penyeru dalam kejahatan, sebagaimana ni’mat Allah terbesar atas seseorang adalah menjadi pemimpin dan penunjuk dalam kebaikan. Allah SWT berfirman berkenaan dengan keberadaan Fir’aun dan para penguasanya: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41). Sedang dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Al-Anbiya: 73).

Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat dalil yang menunjukan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah tersebut serta kisah lainnya secara rinci dan mengkisahkannya dengan kisah yang membenarkan risalah yang dibawa para rasul serta menguatkan kebenaran yang nyata sehingga tidak pernah diadakan diskusi untuk membahas sesuatu dari materi tersebut, tidak pernah dilakukan studi untuk mengetahui sesuatu dari uraian kisah tersebut dan tidak pernah dilakukan sebuah pertemuan serta pengutipan pendapat seorang ulama untuk menjelaskan sesuatu yang terdapat dalam kisah tersebut. Hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali pada risalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah sebagai peringatan terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.

Berkenaan dengan hal itu, maka Allah Ta’ala berfirman pada akhir kisah tersebut: “Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur.” (Al-Qashash: 46). Allah berfirman, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (Al-Qashash: 44). Allah berfirman, “… dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” Al-Qashahsh: 45). Ini salah satu bukti yang menunjukkan kebenaran risalah Allah Ta’ala.

Faidah lainnya, bahwa sejumlah ulama telah menjelaskan tentang faidah yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala yang merupakan jawaban Nabi Musa AS terhadap Rabbnya ketika bertanya kepadanya tentang tongkat yang dibawanya: “Apakah itu yang di tanganmu, hai Musa?” Musa berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku.” (Thaha: 17-18). Nabi Musa AS suka sekali membawa tongkatnya, karena di dalamnya memiliki sejumlah manfaat tertentu dan manfaat-manfaat lainnya yang terkandung dalam perkataannya: “… dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (Thaha: 18).

Di antara manfaat lain yang dapat diperoleh Nabi Musa AS dengan membawa tongkatnya, bahwa ia dapat menunjukkan kasih sayang dan kebaikannya kepada binatang, dan berusaha menghilangkan sesuatu yang memadharatkannya.

Faidah lainnya, bahwa firman Allah, “… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14) menjelaskan, bahwa seorang hamba diperintahkan supaya mengingat Rabbnya karena untuk itulah ia diciptakan (yakni beribadah kepada-Nya) dan dengan mengingat-Nya, niscaya ia akan mendapatkan kebaikan serta kebahagiaan. Jadi tujuan dari pendirian shalat adalah untuk meraih tujuan yang sangat besar tersebut. Jika tidak ada shalat yang diperintahkan kepada kaum mukminin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah yang di dalamnya berisi bacaan Al-Qur’an, pujian kepada Allah, permohonan dan ketundukan kepada-Nya, yang semuanya menjadi ruh (inti) zikir (mengingat Allah SWT), dan jika tidak ada ni’mat tersebut (shalat), niscaya mereka termasuk golongan orang-orang yang lalai.

Sebagaimana zikir (mengingat Allah) merupakan tujuan diciptakannya seorang hamba, maka semua ibadah dimaksudkan untuk mengingat Allah, juga zikir dapat membantu seorang hamba melaksanakan berbagai ketaatan meskipun terasa sulit, memberikan kemudahan kepadanya dalam menyelesaikan masalah di hadapan orang-orang yang lalim dan meringankannya untuk mengajukan permohonan kepada Allah.

Dalam kisah Nabi Musa AS ini, Allah Ta’ala berfirman, “Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33-34). Di dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku.” (Thaha: 42).

Faidah lainnya, bahwa kebaikan Nabi Musa AS terhadap Nabi Harun AS saudaranya yaitu dengan memohon kepada Rabbnya agar menjadikan saudaranya sebagai nabi yang menyampaikan dakwah bersamanya dan memohon pertolongan untuk saudaranya supaya senantiasa melakukan kebaikan dan mendapatkan kebahagiaan, sebagaimana terungkap dalam do’anya: “… dan jadikanlah aku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32).

Faidah lainnya, bahwa kefasihan dan kejelasan termasuk sesuatu yang membantu kelancaran pengajaran dan pelaksanaan dakwah. Karena itu maka Nabi Musa AS memohon kepada Rabbnya supaya menghilangkan kegagapan dari lidahnya supaya mereka dapat memahami perkataannya. Kegagapan bukan merupakan aib dalam perkataan selama perkataan itu dapat dipahami. Adapun di antara kesempurnaan etika Nabi Musa AS terhadap Rabbnya, bahwa ia tidak memohon supaya dihilangkan kegagapan secara keseluruhan, tetapi ia memohon supaya dihilangkan kegagapannya dalam perkataan yang dapat menghambat tercapainya pemahaman yang dimaksud.

Faidah lainnya, bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan titah kepada para raja dan para penguasa serta dalam menyeru dan menasehati mereka, hendaklah titah, seruan dan nasehat tersebut disampaikan dengan lemah-lembut dan turut kata yang sopan yang memberikan kepahaman, tanpa mengganggu serta menimbulkan kebencian mereka. Tindakan itu dibutuhkan di semua tempat, tetapi di tempat para raja dan para penguasa lebih dibutuhkan. Karena tindakan itu dapat mendatangkan keberhasilan dalam mencapai tujuan atau maksud yang diharapkan, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT, “… maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44).

Faidah lainnya, bahwa orang yang berada dalam ketaatan kepada Allah dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan percaya terhadap janji-Nya seraya mengharapkan balasan pahala dari-Nya, niscaya Allah selalu bersamanya. Sedangkan orang yang selalu disertai Allah Ta’ala, niscaya tidak ada kekhawatiran terhadapnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Jangan kamu berdua khawatir.” (Thaha: 46). Kemudian Allah memberikan alasannya dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46). Sedangkan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, “… diwaktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita.” (Taubah: 40).

Faidah lainnya, bahwa sebab-sebab turunnya adzab Allah terbatas pada kedua sebab berikut ini: “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48). Yakni mendustakan berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat tersebut setara dengan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman.” (Al-Qashash: 15-16).

Fidah lainnya, bahwa berkenaan dengan firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82), maka Allah memberitahukan dengannya sebab-sebab yang mendatangkan pengampunan Allah.

Adapun sebab-sebab tersebut adalah:

Pertama, taubat, yaitu kembali dari apa yang dimurkai Allah secara lahir dan bathin kepada apa yang dicintai-Nya secara lahir dan bathin. Taubat wajib dilakukan atas dosa-dosa yang telah diperbuat sebelumnya baik dosa kecil maupun dosa besar.

Kedua, iman, yaitu mengakui dan meyakini dengan pasti serta menyeluruh terhadap segala hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mendorong perbuatan-perbuatan hati lainnya yang kemudian diikuti oleh perbuatan-perbuatan anggota-anggota badan. Tidak diragukan lagi bahwa keyakinan di dalam hati berupa iman kepada Allah, para Rasul-Nya dan hari akhir tanpa ada keraguan di dalamnya merupakan sumber ketaatan; sekaligus merupakan bentuk ketaatan terbesar dan sebagai pondasinya, dan tidak diragukan lagi bahwa kekuatan iman dapat menolak sejumlah kejahatan, menolak kejahatan yang belum dikerjakan, sehingga pemiliknya dapat terhindar dari keterjerumusan ke dalam kejahatan tersebut dan menolak kejahatan yang telah dikerjakan dengan mengerjakan sesuatu amal yang dapat menafikannya serta meniadakan kecenderungan hati terhadap kejahatan tersebut. Seorang mukmin yang dalam hatinya terdapat iman yang cahayanya meneranginya, niscaya ia tidak akan melakukan kemaksiatan, karena iman tidak akan berkumpul dengan maksiat.

Ketiga, amal shalih, yang mencakup sejumlah amalan hati, sejumlah amal anggota badan, sejumlah perkataan lisan serta sejumlah kebaikkan yang dapat menghapuskan (dosa) sejumlah keburukkan.

Keempat, tetap di jalan yang benar, yakni berpegang teguh pada keimanan, mengikuti petunjuk serta meningkatkan keimanan.

Seseorang yang memiliki kesempurnaan dalam sebab-sebab yang empat tersebut, niscaya ia akan memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan pengampunan Allah yang bersifat umum dan menyeluruh.

Berkenaan dengan hal itu, maka Allah SWT menyatakannya dengan pernyataan yang sangat tegas, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.” (Thaha: 82).

Kami memandang cukup dengan mengutarakan faidah-faidah tersebut di atas berkenaan dengan kisah Nabi Musa AS, meski di dalamnya masih banyak faidah-faidah lainnya bagi orang-orang yang berkenan merenungkan dan mengkajinya.

sumber: www.alsofwah.or.id
KISAH NABI ISA AS DAN IBUNYA, KISAH NABI ZAKARIA AS DAN YAHYA AS


Istri ‘Imran ialah salah seorang pembesar dan pemimpin Bani Israil serta memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan mereka. Ketika kehamilannya telam tampak ia bernazar untuk mengabdikan bayi yang dikandungnya bagi kepentingan Baitul Maqdis sebagai pelayan Baitullah yang dipersiapkan semata-mata untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, dan ia menduga bahwa bayi yang dikandungnya adalah bayi laki-laki. Ketika ia melahirkan bayinya, maka ia pun memohon maaf dan mengadu kepada Allah, “Ya Rabbku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali ‘Imran: 36). Yakni anak laki-laki memiliki kekuatan serta kemampuan untuk melaksanakan tugas pelayanan Baitul Maqdis.

Kemudian istri ‘Imran berkata, “Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk.” (Ali ‘Imran: 36). Istri ‘Imran menyerahkan perlindungan Maryam berikut keturunannya kepada Allah dari gangguan musuhnya (syetan).

Itu adalah pemeliharaan dan perlindungan pertama dari Allah kepada Maryam dan Allah mengabulkan permohonan itu di dunia ini, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam firman-Nya, “Maka Rabbnya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik.” (Ali Imran: 37). Yakni Allah telah menggantikan ibunya Maryam dalam memberikan perlindungan terhadap Maryam dan menerimanya sebagai nazar di sisi Rabbnya dengan suatu penerimaan yang besar (baik) yang setara dengan penerimaan terhadap anak laki-laki “dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.” (Ali ‘Imran: 37).

Allah telah mengumpulkan atau memadukan pada Maryam antara pendidikan jasad dan pendidikan ruh, karena orang yang akan menjamin pemeliharaannya ialah salah seorang nabi yang besar dari Bani Israil pada waktu itu, dimana ketika ibunya membawanya untuk diserahkan kepada penduduk Baitul Maqdis, maka mereka berselisih mengenai siapakah yang layak memeliharanya, karena Maryam adalah puteri salah seorang pemimpin mereka. Kemudian mereka berundi dengan melemparkan pena mereka, dan undian itu jatuh kepada Nabi Zakariya AS, dimana hal itu merupakan rahmat Allah kepadanya dan kepada Maryam. Nabi Zakariya AS memeliharanya dengan pemeliharaan yang baik, dan Allah membantunya dalam memeliharanya dengan kemuliaan yang agung dari sisi-Nya, sehingga Maryam tumbuh dewasa sebagai wanita shalihah dan jujur, selalu beribadah kepada Rabbnya dan senantiasa berada di mihrabnya. Setiap kali Nabi Zakariya AS memasuki mihrab tersebut untuk menemuinya, maka ia mendapati makanan di sisinya, sehingga ia bertanya, “Hai Maryam, dari mana kamu mendapatkan makanan tersebut?” Pertanyaan itu dilontarkan Nabi Zakariya kepadanya, karena tidak ada orang lain yang turut memeliharanya selain Nabi Zakariya AS. Maryam pun menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali ‘Imran: 37). Yakni Allah berkuasa untuk mendatangkan rezki melalui jalan yang telah dijanjikan dan melalui jalan yang lain, karena sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ketika Nabi Zakariya AS menyaksikan keadaan tersebut, maka hal itu mengingatkannya kepada kasih sayang Rabbnya dan harapan beliau terhadap rahmat-Nya. Kemudian ia berdo’a kepada Allah supaya mengkaruniainya seorang putera yang mewarisi ilmu dan kenabiannya serta menggantikan kedudukannya pada Bani Israil sepeninggalnya dalam mengajari serta membimbing mereka. “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah.” (Ali ‘Imran: 39). Yakni membenarkan kenabian Nabi Isa AS dan “menjadi ikutan.” (Ali ‘Imran: 39). Yakni memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah dan mahluk-Nya, karena Allah menganugerahinya akhlak yang terpuji, ilmu yang agung dan amal shalih “menahan diri (dari hawa nafsu).” (Ali ‘Imran: 39). Yakni memeliharanya dengan perlindungan, penjagaan dan pemeliharaan dari Allah dari agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan maksiat, kemudian Allah mensifatinya dengan memberinya pertolongan dalam menunaikan seluruh kebaikkan dan melindunginya dari segala keburukan dan kesalahan, dan itu merupakan puncak kesempurnaan seorang hamba.

Nabi Zakariya AS merasa kaget menerima berita gembira itu, seraya berkata, “Ya Rabbku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.” Dia berfirman, “Demikianlah.” Dia berfirman, “Hai itu adalah mudah bagi-Ku, dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (Maryam: 8-9). Nabi Zakariya AS merasa kaget dengan kehamilan istrinya yang sebelumnya mandul dan telah tua. Di balik kebahagiaan dan suka citanya yang besar, maka untuk menenangkan hatinya, ia berkata, “Ya Rabbku, berilah aku suatu tanda.” (Maryam: 10). Yakni suatu tanda yang dapat menunjukanku mengenai keberadaan anak tersebut. Allah SWT berfirman, “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.” (Maryam: 10). Di dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman, “Dan sebutlah (nama) Rabbmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Ali ‘Imran: 41).

Ini sebuah tanda yang besar, dimana Nabi Zakariya AS tidak dapat berbicara dengan manusia, padahal dalam kondisi sehat, sedang berbicara merupakan sesuatu perbuatan yang mudah sekali dilakukan oleh seorang manusia. Saat itu Nabi Zakariya AS tidak dapat berbicara dengan siapa pun, kecuali dengan isyarat, sedang lidahnya digunakan untuk berdzikir kepada Allah, bertasbih dan bertahmid. Dengan demikian maka sempurnalah kabar gembira dari Allah dan ia menyadari bahwa anak itu niscaya akan lahir. Kemudian istrinya melahirkan Nabi Yahya AS, dan Allah menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang mengagumkan, dimana ia tumbuh menjadi anak yang pintar di saat masih kecil dan ahli dalam suatu ilmu di saat masih kecil, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” (Maryam: 12). Menurut suatu pendapat, bahwa Allah Ta’ala juga telah mengangkatnya menjadi nabi saat masih kecil. Sebagaimana Allah SWT telah memberinya ilmu yang besar, maka Allah juga mengkaruniainya sifat-sifat yang sempurna. Allah berfirman, “… dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertaqwa, dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia seorang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meniggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.” (Maryam: 13-15). Kandungan firman Allah di atas, bahwa Allah mensifati Nabi Yahya AS sebagai orang yang selalu menunaikan hak-hak Allah, hak-hak kedua orang tuanya serta hak-hak mahluk, dan Allah akan membalasnya dengan balasan yang baik atas semua perilakunya tersebut.

Sedangkan berkenaan dengan Maryam, maka ia menjauhkan diri dari keluarganya menuju suatu tempat di sebelah timur semata-mata untuk beribadah kepada Rabbnya, sebagaimana hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “… maka ia mengadakan tabir (yang malindunginya) dari mereka.” (Maryam: 17). Hal itu dimaksudkan supaya seseorang tidak mengganggu kesibukannya dalam beribadah dengan hal-hal yang sebaliknya. Kemudian Allah SWT mengutus Ruh Al-Amin (malaikat Jibril) dalam wujud seorang laki-laki yang sempurna (normal) dan sangat tampan sehingga Maryam menduga bahwa laki-laki tersebut bermaksud jahat kepadanya, seraya berkata, “Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa.” (Maryam: 18). Kemudian Maryam memohon kepada Allah supaya memelihara serta melindunginya. Dalam ayat tersebut, Maryam mengingatkan laki-laki itu dengan menyebut-nyebut kewajiban bertakwa atas setiap muslim yang takut kepada Allah, karena hal tersebut merupakan pencegahan yang besar darinya pada saat itu karena takut terjerumus ke dalam fitnah, sehingga Allah mengangkat derajat dan ni’matnya sebab pencegahan tersebut dengan kesucian diri yang sempurna dan ia berhasil memelihara kehormatannya.

Malaikat Jibril berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang penzina!.” Jibril berkata, “Demikianlah. Rabbmu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku, dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami.” (Maryam: 19-21) yakni baginya, bagimu dan juga bagi manusia. “…dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (Maryam: 21). “Janganlah kamu merasa heran atas apa-apa yang telah ditaqdirkan dan diputuskan-Nya. Kemudian Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu.” (Maryam: 22), yakni menjauhkan diri dari manusia “ke tempat yang jauh.” (Maryam: 22), karena merasa takut dengan tuduhan yang akan dilontarkan dan penderitaan yang akan ditimpakan oleh mereka. Akhirnya “rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (besandar).” (Maryam: 23), yakni rasa sakit sebagai suatu tanda akan melahirkan memaksanya menghentikan perjalanannya, lalu ia bersandar “pada pangkal pohon kurma, ia berkata, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” (Maryam: 23).

Karena Maryam menyadari, bahwa persalinannya akan ditentang orang-orang, dan mereka tidak akan mempercayainya, sedang ia tidak mengetahui apa yang hendak diperbuat Allah atas dirinya. Kemudian “Jibril menyerunya dari tempat yang rendah.” (Maryam: 24). Sedang Maryam berada di tempat yang tinggi. Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” * (Al-Mukminun: 50), seraya Jibril berseru, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (Maryam: 24). Yakni sungai yang mengalir. “Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (Maryam: 25), tanpa kamu harus memanjatnya “niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (Maryam: 25), yakni buah kurma yang sudah matang, “maka makan” (Maryam: 26), “minum” (Maryam: 26), yakni air dari sungai kecil “dan bersenang hatilah kamu.” (Maryam: 26) dengan kelahiran Isa AS sehingga rasa takutmu hilang. “Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Yang Maha Pemurah.” (Maryam: 26), yakni tidak berbicara, dimana hal itu telah dikenal di kalangan mereka, bahwa mereka biasa beribadah dengan berdiam diri (tidak berbicara) sepanjang hari. Karena itu Allah menjelaskannya dengan firman-Nya, “… maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (Maryam: 26), sehingga hatinya menjadi tentram dan rasa takutnya hilang.

Setelah nifasnya berhenti dan kondisinya telah pulih kembali dan kuat setelah melahirkan, “maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya.” (Maryam: 27) untuk memberitahukannya tanpa ada rasa takut dan tidak peduli dengan tanggapan mereka. Ketika kaumnya melihatnya, dimana mereka mengetahui bahwa Maryam tidak memiliki suami, maka mereka berkesimpulan bahwa anak itu diperoleh melalui cara lain, seraya mereka berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.” Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina.” Maka Maryam menunjuk kepada anaknya.” (Maryam: 27-29). Seperti yang telah diperintahkan Allah kepadanya. Mereka berkata seraya menolak isyarat yang ditunjukkannya kepada mereka, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan.” (Maryam: 29). Kemudian bayi yang digendongnya (yakni Nabi Isa AS) yang baru dilahirkan beberapa hari berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil), dan Dia manjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Maryam: 30-33). Perkataan Nabi Isa AS ketika itu merupakan tanda keagungan Allah Ta’ala serta sebagai bukti kerasulannya. Ia adalah hamba Allah, dan bukan sebagaimana yang disangkakan kaum Nasrani, dan ia berhasil membebaskan ibunya dari prasangka buruk yang disangkakan kepadanya. Karena meskipun ia mendatangkan seribu saksi saat itu untuk membebaskan dirinya dari prasangka buruk kaumnya, niscaya mereka tidak akan mempercayainya. Tetapi karena perkataan itu dikatakan oleh Nabi Isa AS yang ketika itu masih berada dalam buaian, sehingga segala keraguan yang ada dalam hati-hati mereka menjadi hilang.

Setelah kejadian itu orang-orang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pertama, orang-orang yang mengimani kejadian itu dan membenarkan perkataan tersebut serta menjadi pengikut setia setelah kenabiannya. Mereka adalah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.

Kedua, orang-orang yang melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyikapi kejadian itu adalah kaum Nasrani. Mereka menyikapinya dengan berbagai sikap dan pendapat yang bermacam-macam sebagaimana yang telah diketahui, dan mereka menempatkannya sebagai Tuhan. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari perkataan mereka yang melampaui batas dan sikap mereka yang menyimpang.

Ketiga, orang-orang yang mengingkarinya dan bertabiat buruk mereka adalah kaum Yahudi. Mereka menuduh ibunya Nabi Isa AS dengan tuduhan yang Allah telah membebaskannya dari tuduhan tersebut.

Berkenaan dengan kelompok-kelompok tersebut maka Allah mensinyalir dalam firman-Nya, “Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.” (Maryam: 37).

Ketika Allah SWT mengutus Nabi Isa AS ke Bani Israil, maka berimanlah orang-orang yang beriman dan ingkarlah orang-orang yang ingkar, meski ia memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan kejadian-kejadian yang sangat mengagumkan, misalnya: membentuk tanah liat menjadi seekor burung serta meniupkan ruh ke dalamnya, sehingga menjadi burung yang sesungguhnya atas izin Allah, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan yang menderita penyakit kusta, menghidupkan kembali orang yang telah mati atas izin Allah serta mengabari mereka tentang makanan yang mereka makan dan yang mereka simpan di rumah-rumah mereka. Namun di balik semuanya itu bahwa musuh-musuhnya menyatakan permusuhan mereka secara terang-terangan, bahkan bermaksud membunuhnya. Kemudian Allah SWT menyerupakan seseorang dari kalangan hawâriyyîn (para pengikutnya) atau selain mereka dengannya. Selanjutnya Allah mengangkatnya ke hadirat-Nya serta mensucikannya dari pembunuhan mereka. Sehingga mereka menangkap seseorang yang diserupakan dengannya, lalu mereka membunuhnya dan menyalibnya. Dengan demikian, mereka telah melakukan dosa yang besar serta kesalahan yang patal. Kaum Nasrani telah meyakini dan membenarkan, bahwa mereka telah membunuhnya serta menyalibnya, padahal Allah Ta’ala telah mensucikannya (menyelamatkannya) dari dosa keji tersebut. Allah Ta’ala berfirman, “… padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (An-Nisa’: 57). Nabi Isa AS telah memberitakan dan mengumumkan kepada Bani Israil tentang kerasulan Muhammad SAW, sehingga ketika Nabi Muhammad SAW diutus, maka sesungguhnya mereka telah mengetahuinya sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka, tetapi mereka berkata, “Ini tidak lain sihir yang nyata.” (Al-An’am: 110). Sebagaimana mereka berkata tentang Isa, “lalu orang-orang kafir itu berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (Al-Maidah 110)

CATATAN KAKI:

* Suatu tempat di Palestina
KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (1-3)


Allah telah menceritakan kisah Nabi Musa AS bin Imran bersama saudaranya Nabi Harun AS secara panjang lebar, dan Allah menceritakan kisah-kisahnya dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dengan gaya bahasa yang berbeda baik yang singkat ataupun yang panjang lebar sesuai dengan konteksnya. Dalam Al-Qur’an tidak terdapat kisah yang porsi penuturannya lebih banyak dari kisah Nabi Musa AS, karena ia harus menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya dan harus menghadapi kaum Bani Israil yang sangat besar tantangannya. Ia merupakan salah satu nabi terbesar dari kalangan Bani Israil. Syari’at serta kitabnya adalah Taurat. Ia menjadi rujukan para nabi dan para ulama dari kalangan Bani Israil dan pengikutnya lebih banyak dari pengikut para nabi yang lainnya, selain Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki kekuatan yang besar dalam menegakan agama Allah serta menyerukannya dan memiliki semangat yang tinggi yang tidak dimiliki terhadap utusan yang lainnya.

Nabi Musa AS dilahirkan di saat Fir’aun memperlakukan Bani Israil secara sewenang-wenang, dimana ia menyembelih bayi laki-laki yang baru dilahirkan dari Bani Israil dan ia membiarkan bayi wanita untuk dijadikan pelayan dan dihinakan.

Saat ibunya melahirkannya, maka ia dihinggapi perasaan takut yang luar biasa, karena Fir’aun menyebarkan mata-mata untuk mengawasi para wanita dan bayi-bayi mereka. Rumahnya terletak di tepi sungai Nil, dan saat ia melahirkannya maka Allah mengilhaminya supaya meletakkan bayinya dalam sebuah peti; jika merasa takut akan diketahui seseorang, kemudian ia menghanyutkannya ke sungai Nil serta mengikatnya dengan tali supaya tidak terbawa arus sungai yang sangat deras. Di antara kasih sayang Allah Ta’ala kepada ibunya, bahwa Allah Ta’ala mewahyukan kepadanya, “Dan janganlah kamu khawatir dan jangan (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (Al-Qashash: 7).

Setelah ibunya menghanyutkan peti tersebut, maka pada suatu hari tali pengikat peti tersebut terlepas, sehingga peti yang berisi Nabi Musa AS tersebut hanyut terbawa air. Di antara kekuasaan Allah ialah menjatuhkan Nabi Musa AS di tangan keluarga Fir’aun dan membawanya kepada istri Fir’aun yang bernama Asiyah. Ketika istri Fir’aun melihatnya, maka ia langsung jatuh hati kepadanya dengan kecintaan yang luar biasa. Allah telah menumbuhkan perasaan cinta di dalam hati-hati. Berita itu tersebar luas sehingga terdengar oleh Fira’un, dan ia memintanya dengan tujuan untuk membunuhnya. Istrinya berkata, “Janganlah engkau membunuhnya, karena ia merupakan penyejuk mata hati bagiku dan bagimu, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita atau kita mengangkatnya sebagai anak.” Dengan sebab itu; maka keduanya menyelamatkan Nabi Musa AS dari pembunuhan mereka. Hal tersebut merupakan langkah dan pendahuluan yang baik dari suatu usaha yang patut disyukuri di sisi Allah dan hal itu merupakan sebab datangnya hidayah dan tumbuhnya keimanan kepada istri Fir’aun terhadap Nabi Musa AS di kemudian hari.

Adapun berkenaan dengan ibunya Nabi Musa AS, maka ia merasa khawatir mendengar kabar itu serta hatinya diliputi perasaan cemas, sehingga kesabarannya hampir saja hilang, “Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia.” (Al-Qashash: 10-11). Yakni carilah berita tentangnya.

Istrinya Fir’aun telah mendatangkan sejumlah wanita untuk menyusui Nabi Musa AS, tetapi Nabi Musa AS tidak mau menghisap puting susu mereka sehingga ia mengalami kehausan dan kelaparan. Akhirnya mereka membawanya ke jalan dengan harapan mudah-mudahan ada seorang wanita yang melintas yang dapat menyusuinya. Kemudian saudara perempuan ibunya Nabi Musa AS mendekat dan mengarahkan pandangannya ke arah Nabi Musa AS dari arah samping, tetapi mereka tidak mengetahui perbuatannya itu. Ketika ia mendatanginya serta mengetahui tujuan mereka dari informasi yang dituturkan oleh sebagian dari mereka bahwa mereka sedang mencari seorang wanita yang dapat menyusui Nabi Musa AS, maka ia berkata kepada mereka, “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita.” (Al-Qashash: 12-13).

Kemudian dalam surat ini (Al-Qashash) Allah menuturkan kisah yang rinci dan jelas mengenai bagaimanakah perubahan keadaan Nabi Musa AS, dan untuk mengetahuinya cukup dengan membaca maknanya secara cermat karena maknanya sudah sangat jelas serta detail. Tidaklah Allah menjelaskan kepada kita dengan detail, kecuali supaya kita dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari kisah tersebut. Adapun berkenaan dengan pelajaran dan faidah yang terkandung di dalamnya sangatlah banyak dan kami hanya akan mengemukakan sebagiannya. BERSAMBUNG


sumber: www.alsofwah.or.id

KISAH HIDHIR AS DAN NABI MUSA AS


Dapatkan SMS Dakwah Gratis..! Daftarkan No. Simcard HP Anda! :: Cinta Rasulullah 'alaihish sholatu wassalaam ::

Kisah ini berkaitan dengan Nabi Musa AS yang ketika itu memiliki kedudukan yang agung di kalangan Bani Israil, dimana ia mengajari mereka sejumlah ilmu dan masyarakat pun merasa kagum dengan kesempurnaan ilmunya.

Pada suatu hari seseorang bertanya kepadanya: “Wahai nabi Allah, apakah ada atau engkau mengetahui seseorang di bumi ini yang lebih pintar darimu?”
Nabi Musa AS menjawab, “Tidak ada.”

Jawaban tersebut dilontarkan Nabi Musa AS berdasarkan kenyataan yang diketahuinya dan dimaksudkan untuk mendorong semangat mereka dalam menimba ilmu darinya. Kemudian Allah mengabarinya bahwa Dia memiliki seorang hamba yang tinggal di tempat pertemuan dua buah lautan; yang memiliki sejumlah ilmu yang tidak dimiliki Nabi Musa AS dan menerima wahyu di luar kebiasaan. Nabi Musa AS ingin sekali menemuinya karena ingin menambah ilmunya. Kemudian ia memohon kepada Rabbnya supaya mengizinkannya untuk menemuinya serta memberitahukan tempatnya. Mereka (Nabi Musa AS dan muridnya) membawa ikan sebagai bekal dalam perjalanan, seraya Dikatakan kepadanya, “Jika ikan itu hilang, maka di situlah hamba-Ku tinggal.” Nabi Musa AS pergi dan berhasil menemukannya. Allah Ta’ala telah menceritakan kisah keduanya di dalam surat Al-Kahfi, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya):”Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60) hingga firman Allah, “Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82).

Dalam kisah ini terkandung sejumlah faidah, hukum dan kaidah yang terkait dengan pertolongan Allah, dan kami akan mengemukakan hal-hal yang penting darinya:

Di antara faidah yang dapat diambil dari kisah di atas adalah keutamaan serta kemuliaan ilmu yang terkandung dalam kisah tersebut. Juga disyari’atkannya melakukan perjalanan untuk menuntutnya dan menggolongkannya sebagai sesuatu yang sangat penting. Nabi Musa AS pun telah melakukan perjalanan yang jauh untuk menuntutnya serta merasakan kelelahan dalam melakukannya. Saat itu Nabi Musa AS meninggalkan tugas yang diembannya pada Bani Israil, yaitu mengajari dan membimbing mereka, dan ia memilih melakukan perjalanan untuk menambah ilmunya.

Faidah lainnya, bahwa dalam menuntut ilmu, hendaklah dimulai dari ilmu yang sangat penting dan diikuti oleh ilmu penting berikutnya. Menambah ilmu untuk dirinya adalah lebih penting daripada meninggalkannya karena alasan sibuk mengajar bahkan dia harus belajar untuk mengajarkan kepada yang lain.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengambil pembantu ketika melakukan perjalanan dan saat berada di tempat untuk mempersiapkan makanan dan mendapatkan istirahat yang cukup, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa orang yang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, berjihad serta perjalanan lainnya yang termasuk perjalanan dalam melakukan ketaatan kepada Allah, jika kemaslahatan menghendakinya supaya memberitahukan ilmu yang dituntutnya dan tempat yang ditujunya, niscaya hal itu dipandang lebih sempurna daripada menyembunyikannya. Karena dengan memberitahukannya maka di dalamnya terdapat sejumlah faidah, seperti: menyiapkan segala sesuatu (bekal) yang diperlukannya, melaksanakan perbuatan tersebut dengan seksama dan memberitahukan agar bersemangat dalam melakukan ibadah yang utama tersebut. Hal tersebut didasarkan kepada perkataan Nabi Musa AS, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (Al-Kahfi: 60).

Ketika Nabi SAW bermaksud melakukan perang Tabuk, maka beliau memberitahukan maksudnya itu kepada kaum muslimin, padahal pada umumnya ketika beliau hendak berperang niscaya akan menutupi maksudnya itu dengan perbuatan yang lainnya.* Perbedaan sikap Rasulullah SAW itu karena adanya perbedaan maslahat yang ada dalam keduanya.

Faidah lainnya, bahwa kejahatan dan sebab-sebabnya disandarkan kepada syetan, demikian juga halnya dengan kekurangan. Hal itu merujuk perkataan seorang pemuda yang ditujukan kepada Nabi Musa AS, “…dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan ….” (Al-Kahfi: 63).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkannya seseorang untuk memberitahukan hal yang dirasakannya menjadi tuntutan tabiat alami mamusia, misalnya: merasa letih, lapar, atau dahaga, jika tidak dimaksudkan untuk menunjukkan kebencian dan dikatakan dengan jujur, sebagaimana perkataan Nabi Musa AS, “Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62).

Faidah lainnya, bahwa seseorang hendaklah mengambil pembantu yang cerdas dan pintar supaya dapat membantu dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya dengan sempurna.

Faidah lainnya, bahwa dianjurkan bagi seseorang untuk memberikan makanan kepada pembantunya dari makanannya serta keduanya makan bersama-sama. Karena Dzahir perkataan Nabi Musa AS, “Bawalah ke mari makanan kita.” (Al-Kahfi: 62). Untuk dimakan bersama-sama.

Faidah lainnya, bahwa pertolongan Allah akan diberikan (diturunkan) kepada seorang hamba sesuai dengan ketaatannya dalam menunaikan perintah syara’ (agama), sedangkan suatu perbuatan yang sesuai dengan keridhaan Allah niscaya akan mendatangkan pertolongan Allah kepada pelakunya yang tidak didatangkan kepada selainnya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Al-Kahfi: 62). Isyarat ini ditujukan kepada perjalanan yang telah melewati tempat pertemuan dua buah lautan. Sedangkan dalam perjalanan melewati laut yang pertama, maka Nabi Musa AS tidak mengeluhkannya meskipun jauh.

Faidah lainnya, bahwa seorang hamba yang ditemui Nabi Musa AS bukanlah seorang nabi, melainkan seorang hamba yang shalih yang berilmu dan mendapat ilham. Karena Allah Ta’ala menceritakannya dengan menyebutkan ilmu, ibadah yang khusus dan sifat-sifat terpuji, tanpa dibarengi dengan penyebutan nabi atau rasul.

Sedangkan firman Allah Ta’ala dalam akhir kisah ini, “… dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (Al-Kahfi: 82) tidak menunjukkan bahwa hamba yang dimaksud ialah seorang nabi, akan tetapi menunjukkan kepada ilham dan pemberitahuan, dimana semua itu ditujukan kepada selain para nabi. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah.” (An-Nahl: 68). Sedang dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa.” (Al-Qashash: 7).

Faidah lainnya, bahwa ilmu yang diajarkan Allah kepada seorang hamba terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Ilmu yang diperoleh seorang hamba melalui pencarian dan kesungguhannya.
2. Ilmu Ilahi dan bersifat pemberian Allah, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada seseorang yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya, seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Al-Kahfi: 65). Jadi Hidhir AS ialah orang yang telah dikaruniai ilmu tersebut.

Faidah lainnya adalah keharusan berlaku sopan santun serta lemah-lembut dalam bertutur kata terhadap guru. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66). Nabi Musa AS melontarkan perkataan tersebut dengan sikap yang sopan serta mengajak musyawarah. Seakan-akan ia berkata, “Apakah engkau mengizinkanku atau tidak.” Nabi Musa AS memperlihatkan kebutuhannya kepada guru (yakni Hidhir AS), keinginannya untuk menimba ilmu darinya serta kerinduannya kepada ilmu yang ada padanya. Berbeda sekali dengan orang-orang yang sombong dan bertabiat buruk, dimana mereka tidak akan memperlihatkan kebutuhan mereka terhadap guru Bagi seorang pelajar yang tidak memperlihatkan sikap yang sopan dan kebutuhannya terhadap ilmu guru serta rasa syukurnya atas ilmu yang diajarkannya niscaya ia tidak akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Faidah lainnya adalah keharusan bersikap tawadhu’ dari seseorang yang memiliki kedudukan yang mulia; untuk belajar kepada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan Nabi Musa AS adalah lebih utama daripada Hidhir AS.

Faidah lainnya adalah kemestian bagi seorang guru yang memiliki kedudukan yang mulia untuk mempelajari ilmu yang belum dikuasainya kepada seseorang yang telah menguasainya, meskipun kedudukan gurunya lebih rendah dalam sejumlah ilmu daripadanya. Nabi Musa AS termasuk salah seorang ulul ‘azmi yang besar dari para rasul yang dikaruniai sejumlah ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak dikaruniakan kepada selain mereka, akan tetapi dalam kaitannya dengan ilmu khusus yang dimiliki Hidhir AS, dimana Nabi Musa AS tidak memilikinya, maka ia ingin sekali belajar darinya.

Faidah lainnya, harus menyandarkan ilmu serta keutamaan lainnya, kepada kemurahan Allah dan rahmat-Nya, mengakui hal tersebut dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan kepadanya. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).

Faidah lainnya, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membimbing serta menunjukan kepada kebaikan. Setiap ilmu yang di dalamnya mengandung petunjuk kepada kebaikan dan peringatan dari kejahatan atau hal-hal yang menyebabkan terjerumus kepadanya niscaya termasuk ilmu yang bermanfaat. Sedangkan ilmu selainnya baik yang menimbulkan kemadharatan atau di dalamnya tidak mengandung faidah termasuk ilmu yang tidak bermanfaat. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “… supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Al-Kahfi: 66).

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang tidak sabar dalam menemani gurunya dan tidak memiliki keteguhan hati di dalam menempuh pelajaran niscaya ia akan menjadi orang yang picik dan tidak akan memperoleh ilmu. Jadi orang yang tidak sabar niscaya tidak akan memperoleh ilmu, sedang orang yang sabar dan membiasakannya niscaya akan memperolehnya, karena semua usaha akan diarahkan untuk memperolehnya. Karena itu Hidhir AS memberikan alasan bahwa Nabi Musa AS tidak akan bersabar dalam mempelajari ilmunya yang khusus tersebut.

Faidah lainnya, bahwa di antara hal yang akan membantu seseorang bersabar dalam melakukan segala pekerjaan; ia harus menyadari; bahwa dengan mengerjakannya, niscaya ia akan mendapatkan suatu ilmu, manfaat dan hasil darinya, dan orang yang tidak menyadari hal tersebut, niscaya akan sulit baginya untuk bersabar. Hal itu merujuk perkataan Hidhir: “Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” (Al-Kahfi: 68).

Faidah lainnya adalah keharusan bersikap hati-hati, berketetapan hati dan tidak terburu-buru dalam mempelajari hukum segala sesuatu; sehingga benar-benar mengetahui hukum yang dikehendaki dan dimaksud.

Faidah lainnya adalah disyari’atkannya menggantungkan kejadian segala sesuatu di masa mendatang kepada kehendak Allah. Hal itu merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (Al-Kahfi: 69). Meniatkan sesuatu bukanlah berarti telah melakukannya, dimana Nabi Musa AS telah meniatkan untuk bersabar, tetapi ia tidak dapat melakukannya.

Faidah lainnya, bahwa seorang guru jika melihat suatu kemaslahatan, hendaklah memberitahukannya kepada muridnya, agar muridnya tidak mengawali belajarnya dengan pertanyaan mengenai sebagian hal, tetapi gurunya yang menjelaskannya. Karena kemaslahatan itu bersifat menyertai, misalnya: jika pemahaman muridnya sempit, atau tidak menjelaskannya secara menjelimet, atau mengajukan sejumlah pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan materi yang dipelajari.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan mengarungi lautan, jika tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan.

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang lupa tidak akan disiksa; tidak pada hak Allah SWT serta tidak pula pada hak manusia, kecuali jika hal itu berkaitan dengan perusakan harta orang lain, maka dalam kasus itu terdapat pertanggung jawaban, tanpa kecuali kepada orang yang lupa. Hal tersebut merujuk perkataan Nabi Musa AS, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” (Al-Kahfi: 73).

Faidah lainnya, bahwa dalam menyikapi perilaku manusia (masyarakat) dan bergaul dengan mereka, hendaklah seseorang bersikap pemaaf terhadap perilaku mereka dan juga toleran terhadap diri mereka dan tidak semestinya dia membebani mereka dengan urusan yang tidak mampu mereka kerjakan, atau mendatangkan kesulitan terhadap mereka, atau berbuat zhalim kepada mereka, karena perbuatan itu akan menyebabkan mereka lari dari sisinya, tetapi ia harus membebani mereka dengan urusan yang mudah yang mampu mereka kerjakan.

Faidah lainnya, bahwa segala sesuatu berjalan menurut lahirnya serta terkait dengannya ketentuan-ketentuan hukum dunia dalam segala sesuatu. Nabi Musa AS menentang Hidhir AS ketika merusakkan bahtera dan membunuh seorang anak berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat umum, dan ia tidak melihat sumber yang mendasarinya, dan Hidhir AS pun tidak bertanya kepada Allah dan tidak pula menentang-Nya, tetapi Hidhir AS langsung melakukannya.

Faidah lainnya, bahwa dalam kisah tersebut terkandung suatu kaidah besar yang masyhur, yaitu: “Menolak keburukan yang lebih besar dengan mengerjakan keburukan yang ringan akibatnya, dan menjaga kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan di bawahnya (yang lebih kecil).” Membunuh seorang anak kecil termasuk suatu kejahatan, tetapi membiarkannya tetap hidup hingga dewasa dan menjadi fitnah bagi kedua orang tuanya dalam urusan agama adalah kejahatan yang sangat besar. Membiarkan anak tersebut tetap hidup dan tidak membunuhnya, meskipun secara lahir termasuk kebaikan, tetapi membiarkan kedua orang tuanya tetap hidup dan berpegang teguh kepada agama keduanya adalah lebih baik daripada membiarkannya (anak itu) tetap hidup. Karena itu, maka Hidhir AS membunuhnya setelah Allah memberinya ilham mengenai hakikat yang sesungguhnya, karena kedudukan ilham yang bersifat bathin adalah setara dengan bukti nyata dalam pandangan orang selainnya.

Faidah lainnya, bahwa kaidah besar yang lainnya, bahwa perbuatan seseorang yang berkaitan dengan harta milik orang lain, jika ia bertujuan memelihara kemaslahatan dan menolak kemadharatan maka diperbolehkan baginya melakukan perbuatan tersebut tanpa meminta izin lebih dahulu kepada pemiliknya, meski harus menghilangkan sebagian harta tersebut, seperti yang dilakukan Hidhir AS yang merusak bahtera hingga tampak jelek dengan maksud supaya selamat dari perampasan seorang raja yang zhalim. Di bawah kedua kaidah besar tersebut, terdapat sejumlah faidah yang tidak terhingga.

Faidah lainnya, bahwa suatu amal boleh dikerjakan di lautan sebagaimana diperbolehkan mengerjakannya di daratan. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.” (Al-Kahfi: 79).

Faidah lainnya, bahwa membunuh termasuk dosa besar.
Faidah lainnya, bahwa sesungguhnya seorang hamba yang shalih, niscaya Allah akan memelihara dirinya, keturunannya dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “… sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).

Pengabdian serta amal baik orang-orang shalih, niscaya lebih utama dari pengabdian serta amal baik selain mereka, karena alasan pengerjaan amal-amal mereka adalah kepatutan. Hal tersebut merujuk perkataan Hidhir AS, “… sedang ayahnya adalah seorang yang shalih.” (Al-Kahfi: 82).

Faidah lainnya adalah keharusan memperhatikan etika di dalam menjalin komunikasi dengan Allah Ta’ala hingga dalam perkataan, dimana Hidhir AS menyandarkan perusakan bahtera kepada dirinya, seperti tertera dalam perkataannya, “… dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu.” (Al-Kahfi: 79). Sedang dalam kebaikan maka ia menyandarkannya kepada Allah seperti dalam perkataannya, “… maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82). Contoh lainnya, Nabi Ibrahim AS berkata, “Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara: 80). Contoh lainnya, jin berkata, “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (Al-Jin: 10). Padahal segala sesuatu ditetapkan menurut qadha’ dan qadar Allah.

Faidah lainnya, bahwa seseorang tidak patut membiarkan sahabatnya dalam suatu keadaan dan mengabaikan persahabatan yang telah dijalinnya, tetapi ia harus tetap memeliharanya sehingga tidak ada lagi tempat bagi kesabaran (kesabarannya telah habis). Kecocokan antara seseorang dengan sahabatnya dalam urusan-urusan yang tidak menimbulkan bahaya merupakan motifasi atau sebab pendorong kekalnya persahabatan mereka, dan sebagai lem perekat hubungan mereka, sebagaimana tidak adanya kecocokan menjadi sebab putusnya persahabatan.

CATATAN KAKI:

* HR. Al-Bukhari (2948) dari hadits Ka’ab bin Malik RA, dan untuk lebih jelasnya lihat kitab Fathul Al-Bârî (6/131).

sumber: www.alsofwah.or.id
KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (2-3)


Adapun faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa AS adalah:

Kasih sayang Allah kepada ibunya Nabi Musa AS dengan memberinya ilham untuk menyelamatkan putranya (dari pembunuhan). Kemudian Allah memberinya kebahagiaan dengan mengembalikan putranya ke pangkuannya dengan menyusuinya, menerima upah menyusui serta disebut sebagai ibunya menurut syara’ dan pandangan manusia, sehingga hal itu menentramkan hatinya serta menambah keimanannya. Dalam kejadian tersebut terdapat pengakuan terhadap kebenaran firman Allah Ta’ala, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Al-Baqarah: 216). Yakni Allah SWT tidak membenci ibunya Nabi Musa AS dengan menjatuhkan puteranya (Nabi Musa AS) ke tangan keluarga Fir’aun; dan di balik kejadian itu, maka tampaklah akibat dan pengaruhnya yang baik.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah dan pelajaran yang terdapat dalam peristiwa yang menimpa umat-umat terdahulu mendatangkan faidah dan menjadi pelita bagi kaum mukminin, dan Allah menceritakan kisah-kisah umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi kaum mukminin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 3).

Faidah lainnya, bahwa jika Allah menghendaki sesuatu, niscaya Ia akan menyiapkan sebab-sebabnya dan memberikannya sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur dan tidak akan memberikannya sekaligus.

Faidah lainnya, bahwa umat yang lemah meskipun tingkat kelemahannya mencapai puncaknya tidak semestinya memelihara kelemahannya; sehingga malas berusaha dalam memenuhi hak-haknya serta tidak berputus asa untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi khususnya jika mereka menjadi orang-orang yang teraniaya, sebagaimana Allah telah membebaskan Bani Israil dari kelemahannya serta penghambaannya terhadap Fir’aun dan para pembantunya dari kalangan mereka dan Allah mengokohkan mereka di bumi dan menguasakan mereka atas negeri mereka.

Faidah lainnya, bahwa suatu umat selama berada dalam posisi tertindas dan terjajah niscaya tidak dapat menuntut haknya, sehingga tidak menunaikan urusan agamanya dan tidak pula urusan dunianya.

Faidah lainnya, bahwa perasaan takut yang alami adalah akhlak yang tidak akan menafikan dan menghilangkan keimanan seperti yang terjadi pada ibunya Nabi Musa AS karena merasa takut dengan kejadian yang menimpa putranya.

Faidah lainnya, bahwa keimanan itu terkadang bertambah dan terkadang berkurang, berdasarkan firman Allah, “Supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).” (Al-Qashash: 10). Yang dimaksud dengan iman (percaya) dalam ayat ini adalah bertambah keimanannya dan ketentramannya.

Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah SWT yang besar kepada hamba-Nya adalah dengan memberinya keteguhan hati di saat menghadapi sesuatu yang menggelisahkan dan menakutkan. Ketika keimanan dan pahalanya bertambah, maka kondisinya itu memungkinkannya melahirkan perkataan dan perbuatan yang benar dan meneguhkan pendirian dan pikirannya. Sedang orang yang tidak berhasil mendapatkan keteguhan tersebut, niscaya kegelisahan serta ketakutannya akan menyempitkan pikirannya dan menumpulkan akalnya, sehingga dalam kondisi demikian ia akan menganggap dirinya tidak bermanfaat.

Faidah lainnya, bahwa seseorang walaupun mengetahui bahwa qadha dan qadar itu adalah sesuatu yang hak dan janji Allah kepadanya pasti benar, tetapi ia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab yang bermanfaat (dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya), karena sebab-sebab dan usaha di dalamnya adalah bagian dari qadar (taqdir) Allah. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada ibunya Nabi Musa AS; bahwa Ia akan mengembalikan putranya kepadanya. Meskipun demikian ketika keluarga Fir’aun menemukan putranya, maka ibunya Nabi Musa AS tetap mengusahakan sebab-sebab yang dapat menyelamatkan puteranya dengan mengutus saudara perempuannya untuk mengikuti atau mengawasinya serta mengerjakan sebab-sebab yang sesuai dengan kondisi yang dihadapinya saat itu.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan bagi kaum wanita pergi ke luar rumah untuk memenuhi sejumlah keperluannya dan berbicara kepada kaum laki-laki jika tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara perempuan Nabi Musa AS dan kedua puteri ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan menerima bayaran (upah) mengasuh serta menyusui, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunya Nabi Musa AS, karena syari’at umat sebelum kita adalah syari’at bagi kita selama dalam syari’at kita tidak ada ketentuan hukum yang merubahnya.

Faidah lainnya, bahwa membunuh orang kafir yang telah mengadakan perjanjian baik melalui akad atau tradisi tidak dibolehkan, karena Nabi Musa AS juga merasa menyesal atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang Qibthi dan ia memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dari perbuatan tersebut.

Faidah lainnya, bahwa orang yang membunuh jiwa-jiwa tanpa alasan yang dibenarkan termasuk orang yang lalim yang selalu membuat kerusakan di muka bumi, meskipun tujuannya ialah menghindari ancaman dan meskipun ia menduga bahwa pembunuhan itu mendatangkan kemaslahatan sehingga ada alasan syara’ yang membolehkan pembunuhan jiwa tersebut.

Faidah lainnya, bahwa memberitahu orang lain mengenai peristiwa yang akan menimpanya atau pembicaraan menyangkut dirinya dengan tujuan sebagai peringatan baginya mengenai keburukkan yang akan menimpanya tidaklah termasuk namimah (mengadu domba), bahkan terkadang hal itu termasuk sesuatu yang wajib, sebagaimana Allah ‘Azza Wa Jalla menceritakan berita yang disampaikan seorang laki-laki yang datang dari pinggir kota yang berusaha memberi peringatan kepada Nabi Musa AS dengan tujuan berterima kasih kepadanya.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang merasa khawatir dengan pembunuhan yang akan menimpanya tanpa sesuatu alasan yang dibenarkan (agama) sehubungan dengan keberadaannya di suatu tempat, hendaklah ia tidak menjatuhkan dirinya dalam kerusakan dan menyerah pada kerusakan, melainkan ia harus pergi dari tempat itu jika mampu; seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang dengan terpaksa harus melakukan salah satu dari dua kerusakan, hendaklah ia menentukan kerusakan yang lebih ringan resikonya dengan menolak kerusakan yang lebih besar serta lebih mengerikan. Karena ketika Nabi Musa AS harus menetapkan suatu tindakan antara ia tetap tinggal di Mesir dengan resiko akan dibunuh atau ia pergi ke negeri lain yang jauh yang tidak diketahui jalan menuju ke negeri tersebut, dimana tidak ada petunjuk yang menunjukinya selain petunjuk Rabbnya. Perlu diketahui, bahwa tindakan itu diambil karena mengharapkan keselamatan, bukan karena Nabi Musa AS ingin melengkapi kesalahannya.

Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat peringatan secara tersirat; bahwa seseorang yang mengkaji suatu ilmu; ketika membutuhkan pengamalan atau pembicaraan mengenai ilmu tersebut, sedang menurut pandangannya tidak ada salah satu pendapat pun yang lebih shahih di antara dua pendapat yang ada maka hendaklah ia memohon petunjuk kepada Rabbnya dan memohon kepada-Nya supaya menunjukinya ke arah pendapat yang benar setelah ia menghendaki kebenaran dengan hatinya dan mengkajinya dengan seksama, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengecewakan permohonannya dan tidak akan menggagalkan usahanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS ketika bermaksud pergi ke negeri Madyan, dimana ia tidak mengetahui jalan menuju ke negeri tersebut, seraya berkata, “Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22). Kemudian Allah menunjukinya serta memberinya apa yang menjadi harapannya.

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang memberikan kasih sayang serta melakukan kebaikan terhadap mahluk baik yang dikenalnya atau yang tidak dikenalnya termasuk akhlak para nabi, dan dari sekian banyak kebaikan itu ialah memberikan pertolongan berupa memberi minum binatang ternak; terutama menolong orang yang lemah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS terhadap kedua puteri ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) ketika menolong keduanya mengambilkan air minum di saat ia melihat keduanya tidak mampu memberi minum binatang ternak keduanya sebelum para pengembala yang lainnya memulangkan binatang ternak mereka.

Faidah lainnya, bahwa sebagaimana Allah SWT mencintai seseorang yang memohon dengan bertawasul kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan ni’mat-ni’mat-Nya baik secara umum maupun secara khusus, maka Allah juga mencintai seseorang yang memohon dengan bertawasul kepada-Nya dengan menuturkan kelemahan, ketidakmampuan, kefakiran serta ketidaksanggupannya mencapai sesuatu yang bermanfaat baginya dan menolak kemadharatan dari dirinya, sebagaimana yang dikatakan Nabi Musa AS, “Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24). Karena permohonan yang seperti itu memperlihatkan ketawadhuan, ketentraman serta kebutuhan terhadap Allah yang menjadi tujuan setiap hamba.

Faidah lainnya, bahwa kehidupan dan balasan yang baik selalu menjadi jalan umat-umat yang shalih.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang mengerjakan suatu amal kebaikan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, kemudian ia memperoleh balasan karenanya; tanpa ia maksudkan amalnya itu untuk mendapatkan balasan tersebut, maka ia tidak boleh mencelanya dan balasan itu tidak akan mengurangi keikhlasan dan pahala amalnya, sebagaimana halnya Nabi Musa AS juga menerima balasan dari ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) atas kebaikannya yang tidak dimintanya dan tidak memintanya agar memberikan upah yang lebih tinggi.

Faidah lainnya, bahwa dibolehkan memberikan upah atas setiap amal yang telah diketahui manfaatnya yang dikerjakan dalam waktu tertentu menurut adat kebiasaan, dan dibolehkan memberikan upah dengan nikah, seperti yang dikatakan oleh ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (Al-Qashash: 27)

Dibolehkan bagi seseorang meminang seorang laki-laki untuk puterinya dan sebaliknya asalkan ia termasuk walinya dan hal itu tidak mengurangi keabsahan pinangan, bahkan hal itu terkadang mendatangkan manfaat dan kesempurnaan seperti yang dilakukan ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) terhadap Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa firman Allah SWT, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Perkataan salah seorang puteri Nabi Syu’aib AS, “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26) Dengan kedua sifat tersebut niscaya seluruh pekerjaan akan selesai dengan sempurna. Seluruh pekerjaan baik yang berhubungan dengan pemerintahan, pelayanan, industri serta pekerjaan-pekerjaan lainnya yang memerlukan penjagaan serta pengawasan terhadap para pekerja dan pekerjaan mereka. Jika dalam diri seseorang berkumpul dua sifat, yaitu kuat dalam melaksanakan pekerjaan itu sesuai dengan kemestiannya serta dapat dipercaya dalam melaksanakannya niscaya pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan sempurna, kemudian tujuannya atau hasilnya niscaya sesuai dengan yang diharapankan. Sedangkan penyebab suatu kegagalan dan kekurangan dalam menyelesaikan perkerjaan dan dalam mencapai hasil yang diharapkan karena adanya kekurangan pada kedua sifat tersebut atau pada salah satunya.

Faidah lainnya, bahwa di antara akhlak yang agung dan terpuji adalah berlaku baik terhadap mahluk, di samping berlaku baik terhadap semua orang yang memiliki hubungan dengan dirimu, seperti: pembantu, tetangga, istri, anak, pekerja dan yang lainnya. Juga termasuk akhlak yang agung dan terpuji adalah meringankan pekerjaan dari pekerja. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Ta’ala, “… maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Al-Qashash: 27).

Dalam ayat tersebut terkandung faidah, bahwa tidaklah menjadi masalah bagi seorang pekerja menginginkan bayaran dan upah dengan memperlihatkan dirinya sebagai pekerja yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya dengan syarat ia jujur dalam melaksanakannya.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan melangsungkan akad yang berkaitan dengan masalah upah serta yang lainnya tanpa dihadiri saksi, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash: 28). Hanya saja adanya saksi dapat memelihara hak dan mengurangi perselisihan, karena pihak-pihak yang terlibat dalam suatu akad memiliki kedudukan dan hak yang berbeda.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang nyata; yang dijadikan Allah sebagai penguat atas kebenaran yang dibawa Nabi Musa AS adalah: merubah tongkatnya seperti telah diketahui menjadi “seekor ular yang merayap dengan cepat.” (Thaha: 20). Kemudian Allah mengembalikannya kepada keadaan semula. Allah juga menjadikan tangan Nabi Musa AS ketika dimasukan ke sakunya, maka tangannya itu berubah menjadi putih bersih tanpa ada cacat sedikitpun di hadapan orang-orang yang melihatnya. Juga di antara rahmat Allah dan perlindungan-Nya terhadap Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS, bahwa keduanya diselamatkan dari kejahatan Fir’aun dan para penguasanya. Juga Allah telah membelah lautan ketika Nabi Musa AS memukulnya dengan tongkatnya hingga membentuk dua belas buah jalan, sehingga Nabi Musa AS beserta para pengikutnya dapat menyembaranginya dengan selamat, sedang Fir’aun serta para pengikutnya mengalami kebinasaan. Masih banyak tanda kekuasaan Allah yang lainnya sebagai bukti dan tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berkenan melihat atau menyaksikannya dan sebagai bukti bagi orang-orang yang mau mendengarkan firman-Nya, dimana sumber-sumber keyakinan yang agung yaitu kitab-kitab suci samawi telah menuturkan dan menjelaskannya serta seluruh generasi di sepanjang masa telah menceritakannya, dan tidaklah ada yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali orang bodoh yang sombong dan kufur. Semua tanda-tanda kekuasaan Allah yang diperlihatkan para nabi dimaksudkan untuk menguatkan kebenaran risalah yang dibawa oleh mereka.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan kebenaran risalah para nabi (mu’jizat), karamah para wali, kejadian-kejadian yang diperlihatkan oleh Allah di luar jangkauan akal seperti: perubahan sebab-sebab, atau terhalangnya sebab-sebab, atau kebutuhan kepada sebab-sebab yang lain, atau adanya sejumlah penghalang yang menghalangi terlaksananya sebab-sebab tersebut, semuanya itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan keesaan Allah dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan tidak ada satu pun peristiwa yang agung serta tidak juga yang hina yang keluar dari jangkauan kekuasaan Allah. Semua mu’jizat, karamah dan perubahan yang terjadi tidak menafikan sesuatu yang telah diciptakan Allah di alam ini seperti sebab-sebab yang dapat diindera serta aturan-aturan yang telah diketahui, dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan serta pergantian pada sunnah (ketentuan hukum) Allah.

sumber: www.alsofwah.or.id
KISAH NABI YUNUS AS DAN PELAJARAN YANG DIPETIK


Nabi Yunus AS termasuk salah satu dari kelompok nabi-nabi terbesar Bani Israil, dimana Allah telah mengutusnya ke penduduk Ninawa bagian dari negeri Muashil. Ia menyeru mereka supaya beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi mereka menolaknya. Ia berulang kali menyerukan seruan itu kepada mereka, tetapi mereka tetap menolaknya. Ia menjanjikan adzab kepada mereka, dan ia pergi dari hadapan mereka dan tidak sabar dalam menghadapi mereka yang semestinya dilakukannya, tetapi ia tetap pergi meninggalkan mereka karena marah. Sedangkan keadaan mereka saat menyaksikan kepergian nabi mereka, maka dalam hati mereka timbul niat bertaubat kepada Allah Ta’ala setelah mereka menyaksikan beberapa tanda pendahuluan akan turunnya adzab, sehingga Allah membebaskan adzab dari mereka.

Kenyataannya, bahwa Nabi Yunus AS mengetahui tentang dibebaskannya adzab dari mereka, akan tetapi ia tetap pergi meninggalkan mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah ….” (Al-Anbiya’: 87). Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “(Ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan.” (Ash-Shaffat: 140).

Kemudian Nabi Yunus AS menaiki kapal yang dipenuhi penumpang dan muatan. Ketika mereka berada di tengah-tengah lautan maka kepal itu miring dan hampir tenggelam, dimana mereka harus mengambil salah satu keputusan antara mereka tetap berada di kapal semuanya dengan resiko mengalami kebinasaan; atau membuang sebagian dari mereka agar kapal itu menjadi ringan dan menyelamatkan sisanya. Akhirnya mereka memilih jalan yang terakhir setelah menemui kesepakatan di antara mereka. Kemudian mereka melakukan pengundian dan sejumlah penumpang terkena undian tersebut termasuk di dalamnya Nabi Yunus AS, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “… kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah untuk undian.” (Ash-Shaffat: 141).

Yakni ia termasuk dari orang-orang yang kalah dalam undian tersebut. Kemudian mereka pun melemparkannya ke laut, serta seekor ikan besar menelannya, akan tetapi tidak sampai mematahkan tulangnya dan merobek dagingnya.

Ketika Nabi Yunus AS berada di dalam perut ikan, maka dalam keadaan gelap (dalam perut ikan) ia berseru, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (Al-Anbiya’: 87). Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada ikan itu supaya memuntahkan Nabi Yunus AS di daerah yang tandus.

Nabi Yunus AS keluar dari perut ikan tersebut bagaikan anak burung yang baru keluar dari telur (baru menetas) karena saking lemahnya. Kemudian Allah Ta’ala mengasihinya dan menumbuhkan sebuah pohon dari jenis pohon labu baginya, dimana pohon itu meneduhinya, sehingga ia kuat kembali.

Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Yunus AS supaya kembali ke kaumnya, agar ia mengajari dan menyeru mereka, dan penduduk negeri itu memenuhi seruannya sebanyak seratus ribu orang atau lebih, dimana mereka beriman, sehingga Kami karuniakan kepada mereka keni’matan hidup sehingga batas waktu tertentu.

Dalam kisah ini, bahwa Allah telah menegur sikap Nabi Yunus AS yang lemah (tidak sabar) serta memenjarakannya di dalam perut seekor ikan besar sebagai penebus kesalahannya dan sebagai tanda kekuasaan Allah yang besar serta sebagai kamuliaan bagi Nabi Yunus AS. Di antara ni’mat Allah Ta’ala yang dikaruniakan kepadanya ialah sebagian besar orang dari kaumnya telah memenuhi seruannya, karena banyaknya pengikut bagi para nabi merupakan karunia bagi mereka.

Dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa dibolehkan menggunakan undian saat mendapati kesamaran dalam mengambil keputusan serta solusi yang tepat terhadap masalah-masalah yang terjadi manakala tidak ditemukan cara lain selain cara tersebut. Langkah yang diambil para penumpang kapal di atas dengan menempuh cara itu merupakan dalil atas sebuah kaidah yang masyhur, yaitu melakukan suatu perbuatan buruk yang lebih ringan kemadharatanya dengan maksud menghindari kemadharatan yang lebih besar. Tidak diragukan lagi, bahwa melemparkan sebagian dari mereka ke laut meski di dalamnya mengandung kemadharatan namun mendatangkan keselamatan bagi penumpang lainnya. Sedang jika tidak ada seorang pun yang dibuang, niscaya seluruhnya akan tenggelam.

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa ketika seseorang memiliki hubungan pendahuluan yang baik dengan Rabbnya dan mengenali Rabbnya dalam keadaan senang, niscaya Allah berterima kasih kepadanya dan akan mengenalinya dalam keadaan susah dengan menghilangkan kesusahannya itu secara total atau meringankannya.*

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman dengan kisah Nabi Yunus AS, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaffat: 143-144).

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW, “Berkenaan dengan do’a saudaraku Dzun Nun (Nabi Yunus AS), bahwa tidaklah seseorang yang sedang mendapatkan kesusahan berdo’a dengan do’a tersebut, melainkan Allah akan menghilangkan kesusahan itu darinya, yaitu: “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (Al-Anbiya’: 87)

Juga dalam kisah ini terdapat keterangan, bahwa iman pasti dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan atau kesusahan sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya’: 88). Yakni jika mereka ditimpa kesusahan maka mereka akan dibebaskan darinya karena keimanan mereka.

CATATAN:

* Ar-Razi berkata, “Berkenaan dengan kasus Nabi Yunus AS, bahwa keberadaan ma’rifat (mengenali Allah) lebih dahulu adanya, kemudian diikuti do’a, sehingga keberadaan ma’rifat lebih dahulu adanya daripada do’anya yang memohon supaya do’anya dikabulkan. Sedang berkenaan dengan Fir’aun, maka keingkaran lebih dahulu adanya, dimana ia telah menyerukan kerububiyahan dirinya (mengaku dirinya sebagai Rabb. Allah SWT berfirman, “Maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An-Nazi’at: 23-24). Sedangkan Nabi Yunus AS menyerukan kerububiyahan Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “…ketika ia berdo’a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya).” (Al-Qalam: 48). Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman: “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah.” (Ash-Shaffat: 143). Keterangan di atas memperingatkan anda, bahwa orang yang memelihara hubungan dengan Allah Ta’ala di saat senang niscaya Allah akan memeliharanya ketika susah.” Untuk lebih jelasnya lihat kitab Syarh Asma’ Allâh Al-Husna, (hal. 157).

sumber: www.alsofwah.or.id
Kisah ASH-HABUL KAHFI Dan Pelajaran Yang Dipetik


Mereka adalah para pemuda, dimana Allah Ta’ala memberi mereka petunjuk serta mengilhami mereka keimanan, sehingga mereka mengenal Rabb mereka dan mengingkari keyakinan kaum mereka yang menyembah berhala. Mereka mengadakan pertemuan di antara mereka untuk membicarakan masalah akidah mereka disertai dengan perasaan takut akan kekejaman dan kekarasan kaum mereka, seraya berkata, “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru Ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian ….” (Al-Kahfi: 14), yakni jika seruan kami ditujukan kepada selain-Nya, maka sungguh kami “… telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14), yakni perktaan keji, dusta dan zhalim. Sedangkan “kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah.” (Al-Kahfi: 15).

Setelah mereka sepakat mengenai keyakinan tersebut dan mereka menyadari bahwa mereka tidak mungkin menjelaskannya kepada kaum mereka, maka mereka memohon kepada Allah Ta’ala supaya dimudahan urusan mereka, seraya berdo’a, “Wahai Rabb kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 10). Kemudian mereka berlindung ke gua, dimana Allah SWT memudahkan urusan mereka, melapangkan lubang guanya serta menempatkan pintunya di sebelah utara, sehingga tidak terkena sinar matahari; baik ketika terbit maupun saat terbenam, dan mereka tertidur dalam gua mereka di bawah penjagaan serta perlindungan Allah selama seratus sembilan tahun. Allah SWT telah melindungi mereka dari rasa takut, karena posisi tempat mereka (gua) berdekatan dengan kota kaum mereka.

Allah senantiasa menjaga serta melindungi mereka dalam gua tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” (Al-Kahfi: 18), supaya bumi tidak membusukan tubuh mereka.

Kemudian Allah membangunkan mereka setelah tertidur dalam jangka waktu yang cukup lama “supaya mereka saling bertanya diantara mereka sendiri.” (Al-Kahfi: 19). Akhirnya mereka menemukan jawaban yang sesungguhnya, sebagaimana hal tersebut ditegaskan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Berkatalah salah seorang diantara mereka, “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini).” Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi), “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Al-Kahfi: 19). Allah menjelaskan kisah ini hingga akhir.

Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dan Faidah-Faidah Yang Dapat Diambil Dari Kisah Tersebut

Di dalam kisah tersebut terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah dan faidah-faidah yang bermanfaat, di antaranya:
Faidah pertama, bahwa kisah Ashhabul kahfi, meskipun sangat mengagumkan, tetapi bukan merupakan satu-satunya tanda kekuasaan Allah yang paling mengagumkan, karena Allah memiliki tanda-tanda kekuasaan tersendiri dan kisah-kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi orang-orang yang berkenan merenungkannya.

Faidah lainnya, bahwa orang yang memohon perlindungan kepada Allah, maka Allah akan melindungi dan menyayanginya, dan menjadikannya sebab sebab untuk menunjukkan orang-orang yang sesat. Allah SWT telah melindungi Ashhabul kahfi dalam tidur mereka yang cukup lama dengan memelihara keimanan dan tubuh mereka dari gangguan serta pembunuhan kaum mereka dan Allah menjadikan bangunnya mereka dari tidur mereka sebagai tanda kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebaikan-Nya yang banyak dan bermacam-macam, supaya hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah pasti benar.

Faidah lainnya adalah perintah menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mendiskusikannya, karena Allah Ta’ala telah mengutus mereka untuk tujuan tersebut dan mengilhami mereka untuk berdiskusi di antara mereka seputar keyakinan mereka dan pengetahuan masyarakat mengenai keyakinan atau perilaku mereka sehingga diperoleh bukti-bukti dan pengetahuan bahwa janji Allah pasti benar dan sesungguhnya kiamat itu pasti terjadi tanpa ada keraguan di dalamnya.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan etika seseorang yang merasa samar mengenai sesuatu ilmu, maka hendaklah ia mengembalikannya kepada gurunya dan berusaha untuk memahami dengan seksama pelajaran yang telah diketahuinya.

Faidah lainnya, bahwa sah mewakilkan serta mengadakan kerja sama dalam jual beli. Hal tersebut merujuk perkataan mereka, “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini”, kemudian “… maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkannya memakan makanan yang baik-baik serta memilih makanan-makanan yang layak dan sesuai dengan selera seseorang selama tidak melebihi batas-batas kewajaran. Sedang jika melebihi batas-batas kewajaran maka hal tersebut termasuk perbuatan yang dilarang. Hal itu didasarkan kepada perkataan salah seorang dari mereka, “… dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19).

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan anjuran supaya memelihara, melindungi serta menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menimbulkan fitnah dalam urusan agama dan harus menyembunyikan ilmu yang mendorong manusia berbuat jahat.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan perhatian dan kecintaan para pemuda itu kepada agama yang benar, pelarian mereka untuk menjauhi diri dari semua fitnah dalam urusan agama mereka dan pengasingan diri mereka dengan meninggalkan kampung halaman serta kebiasaan mereka untuk menempuh jalan Allah.

Faidah lainnya adalah berkenaan dengan keterangan yang menjelaskan hal-hal yang tercakup dalam kejahatan, seperti kemadharatan dan kerusakan yang mengundang kemurkaan Allah dan kewajiban meninggalkannya, dan meniggalkannya merupakan jalan yang harus ditempuh oleh kaum mukminin.

Faidah lainnya, bahwa firman Allah SWT, “Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (Al-Kahfi: 21) menunjukkan bahwa orang-orang yang berkuasa yang dimaksud ialah para penguasa ketika mereka dibangunkan dari tidur mereka yaitu para penguasa yang telah beragama dengan agama yang benar, karena para penguasa itu mengagungkan dan memuliakan mereka, sehingga para penguasa tersebut berniat membangun sebuah rumah peribadatan di atas gua mereka.

Meski hal itu dilarang khususnya dalam syari’at agama, maka yang dimaksud ialah menjelaskan tentang ketakutan luar biasa yang dirasakan Ashhabul Kahfi ketika membela dan mempertahankan keimanan mereka sehingga harus berlindung di sebuah gua dan setelah itu Allah membelas perjuangan mereka dengan penghormatan dan pengagungan dari mahluk (manusia). Hal itu merupakan kebiasaan Allah dalam membalas seseorang yang telah memikul penderitaan karena-Nya serta menetapkan baginya balasan yang terpuji.

Faidah lainnya, bahwa pembahasan yang panjang lebar dan bertele-tele dalam masalah-masalah yang tidak penting; maka hal itu tidak perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).

Faidah lainnya, bahwa bertanya kepada seseorang yang tidak berilmu dalam masalah yang akan dimintai pertanggungan jawab di dalamnya atau orang yang tidak dapat dipercaya adalah terlarang. Hal itu merujuk firman Allah Ta’ala, “… dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.” (Al-Kahfi: 22).

sumber: www.alsofwah.or.id
SIAPAKAH DZUL QARNAIN?


Dzulqarnain adalah seorang raja yang shalih, dan Allah SWT telah memberinya kekuatan yang menyebabkan kerajaannya berdiri kokoh dan melakukan sejumlah ekspansi dengan sukses yang tidak diberikan kepada selainnya.

Kemudian Allah menceritakan tentang perilakunya yang baik, kasih sayangnya, kekuatan kerajaannya dan ekspansinya yang meliputi wilayah timur dan barat, yang dengannya dapat tercapai tujuan yang dimaksud dengan sempurna yaitu mengetahui biografi dan perilakunya. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, ‘Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.’” (Al-Kahfi: 83). Yakni sebagian beritanya.

Perlu diketahui, bahwa apa yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya adalah sesuatu kisah yang sangat baik dan sangat bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala menceritakan, bahwa Ia telah memberinya segala sesuatu yang menjadi sebab kerajaannya kuat dan berdiri kokoh, ilmu politik, managemen yang baik, senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukan sejumlah bangsa, pasukan tentara yang banyak, sejumlah alat dan sarana yang memberi kemudahan dan seluruh kebutuhannya. Di balik semua itu; bahwa ia telah melaksanakan semua sebab yang telah diberikan oleh Allah, dimana tidak setiap orang diberi sebab-sebab yang bermanfaat serta tidak setiap orang yang diberinya mengikuti dan melaksanakannya.

Adapun Dzulqarnain, maka ia diberi kesempurnaan dalam dua hal, yaitu: diberi sebab, kemudian ia melaksanakannya. Ia membawa pasukan tentaranya yang besar menaklukan negara-negara Afrika baik yang dekat maupun yang jauh hingga ke negara-negara yang ada di sekitar laut yang berlumpur hitam yang meliputi negara-negara barat, yaitu tempat terbenamnya matahari, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam.” (Al-Kahfi: 86). Yakni ia melihat matahari menurut pandangan matanya seakan-akan terbenam dalam laut, dimana warna airnya hitam pekat seperti lumpur yang hitam.

Maksudnya, ia sampai di negara-negara Afrika sekiranya sepatu dan kaki binatang berhenti (penghujung negara-negara Afrika), dan ia menemukan di negara atau tempat itu suatu kaum yang terdiri dari orang muslim dan orang kafir, orang baik dan orang jahat, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Kami berkata, “Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (Al-Kahfi: 86).

Adapun yang mengatakan perkataan itu kepadanya adalah salah seorang nabi dari nabi-nabi Allah atau salah seorang ulama pada masa itu. Atau maknanya; karena kekuatannya yang luar biasa, sehingga ia memiliki pilihan dalam menggunakan kekuatannya. Jika maknanya tidak demikian, maka sebagaimana diketahui, bahwa syara’ (agama) tidak mungkin menyamakan di antara dua hal yang saling bertentangan, yakni menggunakan kekuatannya dalam hal kebaikan dan kejahatan. Dzulqarnai berkata, “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya, lalu Dia mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi: 87-88). Ini sebagai bukti keadilannya. Ia adalah seorang raja yang shalih dan memiliki perilaku yang baik. “Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).” (Al-Kahfi: 92). Yakni kemudian ia melaksanakan sebab-sebab yang lainnya setelah menaklukan penduduk negara-negara barat, maka ia pun kembali menaklukan negara demi negara hingga tiba di negara tempat matahari terbit yaitu negara Cina dan negara-negara yang berada di pesisir laut Samudra Pasifik, dan itulah akhir perjalanan para penakluk (pasukan tentara Dzulqarnain) tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.” (Al-Kahfi: 90). Yakni tidak ada pelindung bagi mereka dari sengatan sinar matahari, karena mereka tidak memiliki pakaian yang mereka tenun yang dapat dipakai dan tidak memiliki rumah yang bisa dijadikan tempat bermalam dan berteduh. Yakni Dzulqarnain menemukan kaum itu di negara paling timur; dimana keadaannya sebagaimana telah disebutkan, keganasannya seperti binatang buas, berlindung ke semak-semak, kehidupannya bergantung pada perubahan alam (iklim) dan merupakan suku terasing. Pada waktu itu, kaum tersebut hidup dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah Ta’ala.

Maksud dari pernyataan di atas bahwa Dzulqarnain mampu mengadakan ekspansi yang tidak mampu dilakukan siapa pun. Setelah itu Dzulqarnain kembali ke negaranya dan melakukan sebab-sebab lain yang memungkinkannya untuk menaklukan sejumlah negara dan menundukan sejumlah penduduk di wilayah utara, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung.” (Al-Kahfi: 93). Yakni wilayah yang terletak di antara dua buah gunung yang telah ada semenjak Allah SWT menciptakan bumi, dimana keduanya adalah mata rantai gunung-gunung yang besar dan tinggi yang berhubungan satu sama lain pada celah yang menjadi tempat pertemuan antara laut-laut di wilayah timur dengan laut-laut di wilayah barat yang terletak di negara Turki.

Mengenai adanya tempat itu, para ahli tafsir dan para ahli sejarah telah sepakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal: apakah tempat itu merupakan mata rantai gunung-gunung Al-Qafqas atau yang lainnya di Azerbaijan, atau mata rantai gunung-gunung Tay atau gunung-gunung yang bersambung dengan tembok Cina di negara Mongolia? Terlepas dari semua perbedaan yang ada; bahwa di celah kedua gunung itu hidup suatu kaum yang hampir tidak memahami pembicaraan, karena bahasa mereka yang jauh berbeda dengan bahasa-bahasa yang ada ketika itu dan pemahaman mereka yang lemah akan bahasa umat-umat yang lainnya. “Mereka berkata, “Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Kahfi: 94). Mereka ialah suatu umat yang besar yang berasal dari keturunan Yafits bin Nuh AS yang terdiri dari bangsa Turki dan selain mereka, dimana perilaku serta sifat mereka adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Mereka berkata, “… maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka.” Dzulqarnain berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya …” (Al-Kahfi: 94-95) dari kekuatan, sebab-sebab serta kekuasaan “… adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat),” (Al-Kahfi: 95), yakni pembangunan dinding itu adalah sebuah pembangunan yang besar, sehingga membutuhkan bantuan yang dapat membantu kekuatan badan “… agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95). Dalam hal ini, Dzulqarnain tidak menggunakan kata saddan seperti yang digunakan oleh mereka, melainkan menggunakan kata radman karena tempat yang akan dibangunkan di atasnya sebuah dinding adalah celah dan tempat pertemuan di antara dua gunung yang alami yang merupakan mata rantai dari gunung-gunung yang ada.

Kemudian Dzulqarnain menjelaskan kepada mereka tentang tata cara penggunaan alat-alat dan pembangunan dinding itu, seraya berkata, “Berilah aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96). Yakni kumpulkan di hadapanku seluruh potongan-potongan besi yang ada; baik yang kecil maupun yang besar, dan jangan kamu sisakan sedikit pun dari potongan-potongan besi itu, kemudian seluruh potongan-potongan besi itu kamu tumpukan di antara kedua gunung tersebut. Mereka melakukan perintah tersebut, sehingga potongan-potongan besi tersebut menjadi suatu tumpukan yang besar yang menyamai ketinggian kedua gunung tersebut, sebagaimana hal itu dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu.” (Al-Kahfi: 96), yakni gunung-gunung yang mengitari dinding tersebut. Dzulqarnain berkata, “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.’” (Al-Kahfi: 96). Yakni ia meminta agar dibawakan cairan tembaga, lalu ia menuangkannya di antara potongan-potongan besi itu, sehingga satu sama lain saling menempel dan membentuk sebuah gunung yang tinggi yang menghubungkan kedua buah gunung tersebut. Dengan pembangunan dinding itu, maka tercapailah tujuan yang dimaksud, yaitu terhindar dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj, sehingga Dzulqarnain berkata, “Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97), yakni memanjat dinding tersebut “… dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.” Dzulqarnain berkata, “Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku.” (Al-Kahfi: 97-98), yakni Rabbku yang telah menolongku dalam mewujudkan pekerjaan yang besar ini dan sebagai sebuah peninggalan yang bagus, kemudian Rabbku merahmatimu dengan menjauhkanmu dari kejahatan Ya’juj dan Ma’juj dengan sebab pembangunan dinding itu yang kamu tidak memiliki kesanggupan untuk membangunnya (jika bukan karena rahmat dan pertolongan-Nya). “… maka apabila sudah datang janji Rabbku. Dia akan menjadikannya hancur luluh.” (Al-Kahfi: 98), yakni pekerjaan tersebut dan dinding penghalang antara kamu dan Ya’juj dan Ma’juj hingga batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas waktu itu telah datang, niscaya Allah akan mentaqdirkan atas mahluk-Nya sebab-sebab yang mendatangkan kekuatan, kemampuan, sejumlah pembangunan dan penemuan yang luar biasa yang tidak memungkinkan bagi Ya’juj dan Ma’juj menginjakkan kaki di negaramu, hai orang-orang yang bertetangga (dengan keduanya), bahkan keduanya tidak dapat menginjakkan kaki di belahan bumi bagian timur atau barat dan menjelajahi pelosok-pelosoknya, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96). Yakni dari berbagai tempat yang tinggi, baik dari tempat yang setinggi dinding tersebut, dari lautan-lautan dan tempat-tempat tinggi yang menjulang ke langit. “Mereka akan turun dengan cepat.” (Al-Anbiya’: 96), yakni Ya’juj dan Ma’juj akan turun dengan cepat tanpa peduli dengan rintangan yang menghadang mereka. Ungkapan “dari seluruh tempat yang tinggi” mencakup seluruh tempat dan seluruh pelosok baik yang mudah dijangkau maupun yang susah, yang rendah maupun yang tinggi. Adapun Allah menyebutkan tempat-tempat yang tinggi, karena tempat-tempat yang tinggi saja dianggap mudah oleh Ya’juj dan Ma’juj maka tentunya tempat-tempat yang rendah akan lebih mudah dan lebih gampang bagi keduanya.

Berkenaan dengan sifat Ya’juj dan Ma’juj ini terdapat sejumlah keterangan dalam sejumlah hadits yang menguatkan sifat-sifat mereka yang telah dijelaskan di dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Sedang sejumlah ahli sejarah yang terdahulu menjelaskan mengenai sifat dan perilaku Ya’juj dan Ma’juj hanya sebagai sebuah peristiwa sejarah, bukan sebagai tali pengikat serta bukan pula tali pengendali, sehingga hal itu membingungkan pikiran kebanyakan manusia serta menghalangi mereka dari berdalil kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih serta menerapkannya dalam peristiwa yang terjadi. Sudah semestinya anda memegang teguh penjelasan atau keterangan yang dikemukakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan meninggalkan penjelasan atau keterangan lainnya, karena di dalamnya mengandung petunjuk, bimbingan dan cahaya.

sumber: www.alsofwah.or.id