Ambisi Tinggi
Ini bukan ambisi tinggi kepada dunia, bukan dorongan kuat kepada harta, bukan hasrat menggebu kepada jabatan, bukan nafsu yang menggelora kepada kedudukan, bukan semua itu, akan tetapi sebaliknya, ia adalah ambisi tinggi kepada ridha Allah, dorongan kuat kepada pahala Allah, hasrat menggebu kepada karunia Allah dan nafsu mengelora kepada nikmat Allah abadi yaitu surga. Tentu ambisi, dorongan, hasrat dan nafsu seperti ini hanya dimiliki dan dipelihara oleh orang-orang tinggi yang mampu mengukur dan menilai segala perkara dari segi urgensi dan kualitasnya. Orang-orang seperti ini begitu mereka memperoleh peluang dan mendapatkan kesempatan maka mereka tidak akan menyia-nyaikan dan membuangnya percuma dengan menggunakannya untuk perkara-perkara remeh dan rendah, sebaliknya mereka meyakini bahwa itu merupakan peluang emas yang tidak berulang dan tidak semua orang meraihnya maka mereka memanfaatkan peluang tersebut sebaik-baiknya untuk meraih yang tertingi dan termulia.
Inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq manakala Rasulullah saw menyampaikan bahwa surga memiliki pintu-pintu sesuai dengan klasifikasi amal perbuatan manusia, siapa yang termasuk ahli shalat maka dia akan dipanggil dari pintu tersebut, siapa yang termasuk ahli shaum maka dia akan dipanggil dari pintu tersebut, siapa yang termasuk ahli jihad maka dia dipanggil dari pintu tersebut dan begitu seterusnya, lalu Abu Bakar berharap dengan bertanya, “Adakah orang yang dipanggil dari semua pintu ya Rasulullah?” Melihat keinginannya yang tinggi dan dia memang layak meraihnya maka Rasulullah saw memberinya berita gembira, “Ya, dan kamu salah seorang darinya.”
Hal yang sama dilakukan oleh Ukasyah bin Mihshan pada saat Rasulullah saw menyampaikan bahwa ada tujuh puluh ribu orang dari umatnya yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, beliau menjelaskan sifat-sifat mereka, “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta sakitnya ditempeli besi panas, tidak bertathayyur dan mereka bertawakal kepada Tuhan mereka.” Ukasyah melihat kesempatan emas terpampang di depan mata, dia bangkit seraya berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku dijadikan salah satu dari mereka.” Rasulullah saw menjawab, “Kamu termasuk mereka.”
Hal yang sama dilakukan oleh Rabi’ah bin Kaab al-Aslami ketika Rasulullah saw memberinya peluang kepadanya agar meminta sesuatu sebagai balas budi baik, “Memintalah.” Sebuah peluang bagus yang tidak ternilai terbuka, tanpa menyiakan-nyiakannya Rabi’ah berkata, “Aku meminta bisa menemanimu di surga.” Rasulullah saw bertanya, “Apa tidak selain itu?” Rabia’ah menjawab, “Hanya itu.” Rasulullah saw bersabda, “Bantulah diriku atasmu dengan memperbanyak sujud.”
Hal yang sama dilakukan oleh seorang nenek dari kalangan Bani Israil seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw singgah kepada seorang Badui, beliau dimuliakan, beliau bersabda kepadanya, "Wahai Badui katakan keperluanmu." Dia menjawab, "Ya Rasulullah, seekor unta betina dengan pelananya dan domba betina yang diperah oleh keluargaku." Ini diucapkan dua kali.
Rasulullah berkata kepadanya, "Mengapa kamu tidak seperti nenek tua Bani Israil?" Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa nenek tua Bani Israil itu?"
Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya Musa hendak berjalan membawa Bani Israil, tetapi dia tersesat di jalan, maka para ulama Bani Israil berkata kepadanya, 'Kami katakan kepadamu bahwa Yusuf mengambil janji-janji Allah atas kami agar kami tidak pergi dari Mesir sehingga kami memindahkan tulang-tulangnya bersama kami." Musa bertanya, "Siapa di antara kalian yang mengetahui kubur Yusuf?"
Mereka menjawab, "Yang tahu di mana Yusuf hanyalah seorang wanita tua Bani Israil." Musa memintanya agar dihadirkan. Musa berkata kepadanya, "Tunjukkan kepadaku di mana kubur Yusuf." Wanita itu menjawab, "Aku tidak berkenan sehingga aku menemanimu di Surga." Rasulullah Musa tidak menyukai permintaannya, maka dikatakan kepadanya, "Kabulkan permintaannya." Maka Musa memberikan apa yang diminta, lalu wanita itu mendatangi sebuah danau. Wanita itu berkata, "Kuraslah airnya." Ketika air telah surut wanita itu berkata, "Galilah di sini." Begitu mereka menggali, mereka menemukan tulang-tulang Yusuf. Begitu ia diangkat dari tanah, jalan langsung terlihat nyata seperti cahaya siang hari." Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/624) nomor 4088. dia berkata, "Ini hadis sanadnya shahih dan keduanya tidak meriwayatkannya."
Hakikat ini dipahami benar oleh Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khatthab ketika seorang Khalifah Umawi Abdul Malik bin Marwan bertemu dengannya di sisi ka’bah dan berkata kepadanya, “Katakanlah hajatmu.” Salim menjawab, “Aku malu berada di rumah Allah sementara aku meminta kepada selainNya.” Setelah keduanya keluar Khalifah Umawi mengulang kata-katanya, “Sekarang kita telah keluar, katakanlah hajatmu.” Salim balik bertanya, “Hajat dunia atau akhirat?” Khalifah menjawab, “Hajat dunia tentunya.” Salim berkata, “Aku tidak meminta dunia kepada pemiliknya, bagaimana aku meminta kepada yang tidak memilikinya?” Sang khalifah bergumam, “Benar-benar zuhud sejati, dirimu, bapakmu dan kakekmu.”
Mereka itulah bapak-bapak kami maka datangkanlah arang-orang
Seperti mereka jika perkumpulan mengumpulkan kita wahai Jarir.
(Izzudin Karimi)
sumber: www.alsofwah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MUDAH-MUDAHAN SEMUANYA BERMANFAAT...