Sunnah Allah dalam seluruh peristiwa baik yang terjadi di masa lampau maupun di masa yang akan datang terbagi dua bagian, yaitu:
Pertama, sejumlah peristiwa, segala sesuatu yang ada di jagad (alam semesta), hukum-hukum syari’at, hukum-hukum taqdir dan hukum-hukum balasan tidak akan berubah dari apa yang telah diketahui manusia, dan mereka mengetahui sebab-sebabnya. Bagian ini juga tercakup dalam qadar dan qadhanya Allah SWT. Dari pengetahuan ini dapat diambil faidah yaitu mengetahi kesempurnaan kebijaksanaan Allah dalam penciptaan dan syari’at-Nya. Berkenaan dengan sebab dan akibat, bahwa orang yang menempuh jalan-jalannya dengan sempurna, niscaya akan memetik hasil dan buahnya. Sedang orang yang tidak menempuhnya atau menempuhnya dengan tidak sempurna, niscaya ia tidak akan memetik hasil atau buahnya yang menyertai amal-amal baik menurut hukum syari’at maupun hukum taqdir. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diwajibkan bagi seorang hamba menemukan dan mengusahakan sebab-sebab yang bersifat keagamaan serta keduniaan yang bermanfaat lalu dibarengi dengan permohonannya kepada Allah serta menghaturkan pujian kepada Rabbnya supaya memberinya kemudahan serta dimudahkan sebab-sebabnya atau alat-alat yang dipergunakannya sesuai dengan kemampuannya.
Kedua, kejadian-kejadian sebagai mu’jizat para nabi yang terjadi secara berturut-turut dalam selang waktu; yang tidak akan terjadi kejadian serupa pada seluruh berita dan seluruh generasi mengetahuinya. Demikian juga halnya dengan karamah (kemuliaan) yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya seperti dikabulkannya sejumlah permohonan, dihilangkannya sejumlah penderitaan, tercapainya keinginan yang bermacam-macam, terhindarnya sejumlah rintangan yang tidak mampu dihindari oleh seorang hamba, terbukanya pintu-pintu Rabbani, turunnya ilham-ilham Ilahi serta memancarnya cahaya-cahaya yang Allah pancarkan di dalam hati mahluk-mahluk-Nya tertentu, sehingga mereka mendapatkan keyakinan, ketentraman serta ilmu yang bermacam-macam yang tidak dapat dicapai hanya dengan pencarian dan mengerjakan sebab-sebab. Di antara pertolongan Allah kepada para rasul dan pengikut-pengikut mereka dan tipu daya-Nya kepada musuh-musuh mereka merupakan bukti pada kebanyakan waktu. Sunnah Allah pada bagian yang ini di hadapan mahluk bukanlah merupakan petunjuk yang mengarahkan mereka kepada sebab-sebab terjadinya kejadian-kejadian tersebut dan pada dasarnya mereka tidak akan dapat mengetahui hakikatnya, karena kejadian-kejadian itu semata-mata karena kekuasaan Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu; yang di dalamnya termasuk menciptakan sebab-sebab, hukum-hukum serta ketentuan-ketentuan di luar jangkauan pikiran mahluk. Penginderaan dan percobaan mereka dari berbagai segi, niscaya tidak akan mengantarkan mereka kepada pengetahuan mengenai hakikat kejadian-kejadian itu. Dengan kejadian-kejadian tersebut semestinya mereka beriman kepada para rasul dari rasul yang pertama hingga rasul yang terakhir dan mengikuti petunjuk para rasul baik mereka yang hidup terdahulu maupun mereka yang hidup kemudian. Dengan kejadian-kejadian itu maka diketahuilah keagungan Allah dan sesungguhnya ubun-ubun setiap hamba berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, sehingga apa yang dikehendaki Allah niscaya terjadi serta apa yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak akan terjadi. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui kebenaran risalah yang dibawa para rasul. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui sunnah Allah pada bagian yang pertama. Juga dengan kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada jalan bagi hamba-hamba Allah di dunia ini untuk mengetahui hakikat kejadian hari kiamat dan hakikat surga dan neraka, melainkan mereka hanya mengetahui sebatas pengetahuan yang telah diajarkan para rasul dan yang telah diberitakan kitab-kitab suci, dan tidak ada jalan bagi penghuni bumi untuk mengetahui hakikat penghuni langit. Juga tidak ada jalan bagi mereka (penghuni bumi) untuk dapat menghidupkan orang-orang yang mati serta mengadakan ruh-ruh pada benda-benda mati, dimana kejadian-kejadian tersebut adalah bagian yang besar dari kejadian-kejadian alam.
Meskipun kami memperpanjang pembahasan tentang masalah tersebut, tetapi sikap yang muncul dalam menyikapinya tidak lebih dari dua sikap, yaitu:
Pertama, kaum zindiq modern yang mengingkari adanya Pencipta dan segala yang diberitakan para rasul dan kitab-kitab suci samawi seperti hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak menetapkan keyakinan berdasarkan ilmu-ilmu, melainkan berdasarkan penginderaan dan percobaan mereka yang terbatas yang disandarkan kepada sebagian ilmu alam dan mereka tidak mau bersandar kepada selainnya. Mereka menyangka bahwa alam dunia ini dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya tidak mungkin dirubah oleh sesuatu, atau tidak mungkin terjadi perubahan pada salah satu dari sebab-sebabnya. Kalaupun hal itu terjadi, niscaya hal itu hanya kebetulan tanpa ada yang merubahnya. Mereka menyangka bahwa alam ini adalah sebuah alat yang berjalan dengan sendirinya dan menurut tabiatnya, dimana ia tidak memiliki Pengatur, Rabb dan Pencipta. Semua ahli agama mengetahui kesombongan dan kebodohan kaum zindiq tersebut, karena mereka tidak memiliki agama sama sekali, sehingga akal mereka melepaskan (mengabaikan) kebenaran, karena mereka telah mengingkari kebenaran yang sangat jelas dan nyata yang telah dijelaskan dalam sejumlah dalil dan ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka dibingungkan dengan akal mereka yang tidak waras dan pandangan mereka yang kacau. Meskipun mereka mengetahui keadaan mereka, akan tetapi mereka enggan menerima kebenaran karena kosombongan dan kekufuran mereka.
Kedua, sebagian ilmuan modern yang menyatakan membela Islam yang terlibat langsung dalam suatu perdebatan dengan para zindik dalam masalah itu memaksakan ijtihad mereka atau lebih tepatnya tipu daya mereka supaya sunnah Ilahiyah sesuai dengan kehendak mereka dan menjelaskan urusan-urusan akhirat sesuai dengan pemahaman yang dipahami orang-orang yang didasarkan kepada penginderaan serta percobaan mereka, sehingga mereka menafsirkan sejumlah mu’jizat dengan salah. Mereka mengingkari ayat-ayat dan bukti-bukti nyata, dimana mereka tidak memperoleh manfaat selain kemadharatan yang menimpa diri mereka dan orang yang membaca buku-buku karya mereka yang membahas masalah tersebut. Karena kelemahan iman mereka kepada Allah SWT, sehingga mereka menafsirkan mu’jizat-mu’jizat para nabi dengan penafsiran yang keliru yang menyebabkan timbulnya pengingkaran terhadap mu’jizat-mu’jizat itu sendiri dan pengingkaran terhadap para nabi, yang merupakan suatu kejadian besar dari qadha dan qadar Allah Ta’ala. Pandangan-pandangan yang disangkakan mereka tidak menghasilkan keteguhan dalam mengikuti petunjuk serta agama. Bahkan mereka bertambah giat dalam membuat tipu daya dalam madzhab mereka, karena mereka berpendapat sebagaimana pendapat yang dikemukakan para zindiq yang merujukan nash-nash agama, mu’jizat-mu’jizat para nabi dan hal-hal ghaib kepada pengetahuan-pengetahuan mereka yang sangat terbatas yang berdasarkan percobaan dan penginderaan. Sungguh besar bencana yang menimpa dan kesalahan yang terjadi, akan tetapi karena lemahnya penglihatan dan besarnya kekaguman terhadap para zindiq modern sehingga memaksa mereka tunduk dan mengikuti pendapat para zindiq tersebut. Tidak ada daya dan upaya, kecuali atas pertolongan Allah Ta’ala.
Faidah lainnya, bahwa di antara akibat terburuk yang menimpa seseorang adalah menjadi pemimpin dan penyeru dalam kejahatan, sebagaimana ni’mat Allah terbesar atas seseorang adalah menjadi pemimpin dan penunjuk dalam kebaikan. Allah SWT berfirman berkenaan dengan keberadaan Fir’aun dan para penguasanya: “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41). Sedang dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (Al-Anbiya: 73).
Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat dalil yang menunjukan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW, dimana Allah telah menceritakan kisah tersebut serta kisah lainnya secara rinci dan mengkisahkannya dengan kisah yang membenarkan risalah yang dibawa para rasul serta menguatkan kebenaran yang nyata sehingga tidak pernah diadakan diskusi untuk membahas sesuatu dari materi tersebut, tidak pernah dilakukan studi untuk mengetahui sesuatu dari uraian kisah tersebut dan tidak pernah dilakukan sebuah pertemuan serta pengutipan pendapat seorang ulama untuk menjelaskan sesuatu yang terdapat dalam kisah tersebut. Hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali pada risalah Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta wahyu yang diturunkan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah sebagai peringatan terhadap seluruh hamba-hamba-Nya.
Berkenaan dengan hal itu, maka Allah Ta’ala berfirman pada akhir kisah tersebut: “Dan tiadalah kamu berada di dekat gunung Thur.” (Al-Qashash: 46). Allah berfirman, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (Al-Qashash: 44). Allah berfirman, “… dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” Al-Qashahsh: 45). Ini salah satu bukti yang menunjukkan kebenaran risalah Allah Ta’ala.
Faidah lainnya, bahwa sejumlah ulama telah menjelaskan tentang faidah yang dapat diambil dari firman Allah Ta’ala yang merupakan jawaban Nabi Musa AS terhadap Rabbnya ketika bertanya kepadanya tentang tongkat yang dibawanya: “Apakah itu yang di tanganmu, hai Musa?” Musa berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku.” (Thaha: 17-18). Nabi Musa AS suka sekali membawa tongkatnya, karena di dalamnya memiliki sejumlah manfaat tertentu dan manfaat-manfaat lainnya yang terkandung dalam perkataannya: “… dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (Thaha: 18).
Di antara manfaat lain yang dapat diperoleh Nabi Musa AS dengan membawa tongkatnya, bahwa ia dapat menunjukkan kasih sayang dan kebaikannya kepada binatang, dan berusaha menghilangkan sesuatu yang memadharatkannya.
Faidah lainnya, bahwa firman Allah, “… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha: 14) menjelaskan, bahwa seorang hamba diperintahkan supaya mengingat Rabbnya karena untuk itulah ia diciptakan (yakni beribadah kepada-Nya) dan dengan mengingat-Nya, niscaya ia akan mendapatkan kebaikan serta kebahagiaan. Jadi tujuan dari pendirian shalat adalah untuk meraih tujuan yang sangat besar tersebut. Jika tidak ada shalat yang diperintahkan kepada kaum mukminin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah yang di dalamnya berisi bacaan Al-Qur’an, pujian kepada Allah, permohonan dan ketundukan kepada-Nya, yang semuanya menjadi ruh (inti) zikir (mengingat Allah SWT), dan jika tidak ada ni’mat tersebut (shalat), niscaya mereka termasuk golongan orang-orang yang lalai.
Sebagaimana zikir (mengingat Allah) merupakan tujuan diciptakannya seorang hamba, maka semua ibadah dimaksudkan untuk mengingat Allah, juga zikir dapat membantu seorang hamba melaksanakan berbagai ketaatan meskipun terasa sulit, memberikan kemudahan kepadanya dalam menyelesaikan masalah di hadapan orang-orang yang lalim dan meringankannya untuk mengajukan permohonan kepada Allah.
Dalam kisah Nabi Musa AS ini, Allah Ta’ala berfirman, “Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33-34). Di dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku.” (Thaha: 42).
Faidah lainnya, bahwa kebaikan Nabi Musa AS terhadap Nabi Harun AS saudaranya yaitu dengan memohon kepada Rabbnya agar menjadikan saudaranya sebagai nabi yang menyampaikan dakwah bersamanya dan memohon pertolongan untuk saudaranya supaya senantiasa melakukan kebaikan dan mendapatkan kebahagiaan, sebagaimana terungkap dalam do’anya: “… dan jadikanlah aku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29-32).
Faidah lainnya, bahwa kefasihan dan kejelasan termasuk sesuatu yang membantu kelancaran pengajaran dan pelaksanaan dakwah. Karena itu maka Nabi Musa AS memohon kepada Rabbnya supaya menghilangkan kegagapan dari lidahnya supaya mereka dapat memahami perkataannya. Kegagapan bukan merupakan aib dalam perkataan selama perkataan itu dapat dipahami. Adapun di antara kesempurnaan etika Nabi Musa AS terhadap Rabbnya, bahwa ia tidak memohon supaya dihilangkan kegagapan secara keseluruhan, tetapi ia memohon supaya dihilangkan kegagapannya dalam perkataan yang dapat menghambat tercapainya pemahaman yang dimaksud.
Faidah lainnya, bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan titah kepada para raja dan para penguasa serta dalam menyeru dan menasehati mereka, hendaklah titah, seruan dan nasehat tersebut disampaikan dengan lemah-lembut dan turut kata yang sopan yang memberikan kepahaman, tanpa mengganggu serta menimbulkan kebencian mereka. Tindakan itu dibutuhkan di semua tempat, tetapi di tempat para raja dan para penguasa lebih dibutuhkan. Karena tindakan itu dapat mendatangkan keberhasilan dalam mencapai tujuan atau maksud yang diharapkan, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT, “… maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44).
Faidah lainnya, bahwa orang yang berada dalam ketaatan kepada Allah dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan percaya terhadap janji-Nya seraya mengharapkan balasan pahala dari-Nya, niscaya Allah selalu bersamanya. Sedangkan orang yang selalu disertai Allah Ta’ala, niscaya tidak ada kekhawatiran terhadapnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Jangan kamu berdua khawatir.” (Thaha: 46). Kemudian Allah memberikan alasannya dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 46). Sedangkan dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, “… diwaktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah berduka cita, sesungguhya Allah bersama kita.” (Taubah: 40).
Faidah lainnya, bahwa sebab-sebab turunnya adzab Allah terbatas pada kedua sebab berikut ini: “Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48). Yakni mendustakan berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat tersebut setara dengan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan (berpaling) dari iman.” (Al-Qashash: 15-16).
Fidah lainnya, bahwa berkenaan dengan firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82), maka Allah memberitahukan dengannya sebab-sebab yang mendatangkan pengampunan Allah.
Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
Pertama, taubat, yaitu kembali dari apa yang dimurkai Allah secara lahir dan bathin kepada apa yang dicintai-Nya secara lahir dan bathin. Taubat wajib dilakukan atas dosa-dosa yang telah diperbuat sebelumnya baik dosa kecil maupun dosa besar.
Kedua, iman, yaitu mengakui dan meyakini dengan pasti serta menyeluruh terhadap segala hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang mendorong perbuatan-perbuatan hati lainnya yang kemudian diikuti oleh perbuatan-perbuatan anggota-anggota badan. Tidak diragukan lagi bahwa keyakinan di dalam hati berupa iman kepada Allah, para Rasul-Nya dan hari akhir tanpa ada keraguan di dalamnya merupakan sumber ketaatan; sekaligus merupakan bentuk ketaatan terbesar dan sebagai pondasinya, dan tidak diragukan lagi bahwa kekuatan iman dapat menolak sejumlah kejahatan, menolak kejahatan yang belum dikerjakan, sehingga pemiliknya dapat terhindar dari keterjerumusan ke dalam kejahatan tersebut dan menolak kejahatan yang telah dikerjakan dengan mengerjakan sesuatu amal yang dapat menafikannya serta meniadakan kecenderungan hati terhadap kejahatan tersebut. Seorang mukmin yang dalam hatinya terdapat iman yang cahayanya meneranginya, niscaya ia tidak akan melakukan kemaksiatan, karena iman tidak akan berkumpul dengan maksiat.
Ketiga, amal shalih, yang mencakup sejumlah amalan hati, sejumlah amal anggota badan, sejumlah perkataan lisan serta sejumlah kebaikkan yang dapat menghapuskan (dosa) sejumlah keburukkan.
Keempat, tetap di jalan yang benar, yakni berpegang teguh pada keimanan, mengikuti petunjuk serta meningkatkan keimanan.
Seseorang yang memiliki kesempurnaan dalam sebab-sebab yang empat tersebut, niscaya ia akan memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan pengampunan Allah yang bersifat umum dan menyeluruh.
Berkenaan dengan hal itu, maka Allah SWT menyatakannya dengan pernyataan yang sangat tegas, “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun.” (Thaha: 82).
Kami memandang cukup dengan mengutarakan faidah-faidah tersebut di atas berkenaan dengan kisah Nabi Musa AS, meski di dalamnya masih banyak faidah-faidah lainnya bagi orang-orang yang berkenan merenungkan dan mengkajinya.
sumber: www.alsofwah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MUDAH-MUDAHAN SEMUANYA BERMANFAAT...