Ada terpidana hukumam mati –terlepas dia dihukum bil haq atau bil bathil- yang katanya -penulis mengatakan, ‘katanya’ karena informasi yang penulis dapatkan simpang siur, wallahu a'lam, penulis tidak memastikan kebenarannya- menolak dieksekusi di depan regu tembak, dia meminta dipancung dengan pedang, alasan terpidana bahwa cara pertama bukan cara Islam, dia ingin dihukum dengan cara Islam, maka –sekali lagi penulis berkata, ‘katanya’- dia meminta dihukum pancung karena inilah –menurut yang bersangkutan- adalah cara Islam.
Terlepas dari benar tidaknya informasi ini, pertanyaan yang muncul dari persoalan ini, apakah hukuman mati atau di kalangan sebagian kaum muslimin dikenal dengan qishash, sebenarnya hukuman mati dan qishash tidak sama persis, ada titik perbedaan di antara keduanya, dari satu sisi hukuman mati hanya sebagian dari qishash, karena qishash tidak hanya berlaku untuk nyawa, akan tetapi ada qishash yang berkait dengan luka, ada qishash yang berkait dengan anggota tubuh dan ada qishash yang berkait dengan manfaat anggota tubuh, dari sisi ini maka qishash lebih umum daripada hukuman mati. Dari sisi yang lain, tidak semua hukuman mati itu karena qishash, ada hukuman mati di mana sebabnya bukan karena membunuh, jadi qishash bukan berarti hukuman mati dan hukuman mati bukan berarti qishash. Keterangan seperti ini terambil dari sabda Nabi saw dalam hadits Muttafaq alaihi dari Ibnu Mas'ud, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena satu dari tiga perkara; pezina muhshan, jiwa dengan jiwa dan peninggal agamanya penyempal dari jamaah (kaum muslimin).”
Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah hukuman mati dalam Islam harus dilaksanakan dengan pedang? Atau dengan kata lain, apakah hukuman mati dalam Islam berarti pancung dengan pedang? Adakah cara lain selainnya?
Pertanyaan ini telah dibicarakan oleh para fuqaha` pada pembahasan tentang tata cara qishash, bagaimana qishash dilaksanakan terhadap pembunuh? Apakah dengan cara yang dia gunakan untuk membunuh korban? Misalnya dia membunuh dengan memukul kepala korban dengan batu maka dia diqishash dengan cara yang sama. Atukah dia hanya dibunuh dengan dipenggal dengan pedang?
Pendapat pertama adalah pendapat mayoritas fuqaha`, di antara mereka adalah Imam Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Pendapat kedua adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan riwayat yang masyhur dalam madzhab Ahmad.
Pendapat pertama berpegang kepada:
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Al-Baqarah: 178). Qishash adalah perlakuan terhadap pelaku kejahatan seperti perlakuannya terhadap korban.
Firman Allah, “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194).
Firman Allah, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126).
Ayat-ayat ini menetapkan pelaksanaan balasan atau hukuman atas tindak kejahatan sesuai dengan bentuk tindak kejahatannya.
Pendapat ini juga berpegang kepada sunnah Rasulullah saw, di antaranya:
Dari Anas bin Malik bahwa seorang gadis ditemukan dalam keadaan kepalanya dihantam dengan dua batu, maka orang-orang menanyainya, ‘siapa yang melakukan ini terhadapmu? Apakah fulan, fulan?’ sehingga orang-orang menyebut nama seorang Yahudi maka gadis itu mengangguk, maka Yahudi ini ditangkap dan dia mengakui perbuatannya, maka Rasulullah saw memerintahkan agar kepala Yahudi dihantam dengan dua batu. (Muttafaq alaihi).
Dari al-Barra` dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menjadikan orang lain sebagai sasaran anak panahnya maka kami akan menjadikannya sebagai sasaran anak panah kami, barangsiapa membakar maka kami membakarnya dan barangsiapa menenggelamkan maka kami meneggelamkannya.” (HR al-Baihaqi).
Sementara itu pendapat kedua berpijak kepada:
Dari Syaddad bin Aus bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala sesuatu, jika kalian membunuh maka lakukanlah dengan baik, jika kalian menyembelih maka lakukanlah dengan baik…” (HR Muslim).
Hadits ini memerintahkan membunuh dengan baik dan cara yang baik adalah dengan pancung leher dengan pedang karena ia mempercepat proses kematian.
Dari Abu Bakrah dari Nabi saw bersabda, “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Adi, Ibnu Adi berkata, “Seluruh jalan periwayatanya dhaif.”).
Tela’ah terhadap kedua pendapat
Pendapat pertama lebih kuat dari sisi dalil-dalilnya, di samping ia lebih memberi efek jera yang mendalam kepada para pelaku kejahatan dan calon pelaku kejahatan. Pendapat ini juga sejalan dengan prinsip keadilan. Namun sisi kelemahan pendapat ini nampak dari sudut penerapannya, karena penerapannya memerlukan patokan baku yang menjamin terwujudnya keadilan dan dari sudut ini hal tersebut rada sulit terlaksana. Misalnya, A membunuh B dengan cara menghantam kepalanya dengan martil sebanyak tiga kali, maka menurut pendapat pertama ini, A diqishash dengan cara dihantam dengan martil juga sebanyak tiga kali. Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana jika dengan tiga kali hantaman martil A tidak mati? Jika ditambah kali keempat berarti tidak adil, jika cukup hanya dengan tiga berarti qishash tidak terlaksana.
Sementara pendapat kedua kalah kuat dari sisi dalil, di samping ia kurang memberi efek jera kepada pelaku kejahatan, namun pendapat ini mudah dari sisi pelaksanaan.
Dari sini maka penulis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman mati dilaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban seperti pendapat pertama, kecuali jika hal ini tidak memungkinkan, karena ia mengandung kezhaliman, atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak mungkin dilakukan kepadanya sebagai qishash, misalnya jika dia memperkosa wanita lalu wanita itu mati karenanya, apakah pelaku diperkosa? Tidak mungkin, maka dalam kondisi ini kita menerapkan pendapat yang kedua. Di samping itu tidak semua hukuman mati karena tindak pembunuhan sebagaimana penulis telah menyinggungnya di depan.
Dalam kondisi di mana menerapkan pendapat pertama tidak mungkin, lalu pendapat kedua hendak diambil, apakah cara atau alat membunuhnya hanya sebatas pedang, dengan kata lain, cara selain dengan pedang bukan cara Islami? Penulis berpendapat, masalah ini perlu dikaji dengan tidak terburu-buru menetapkan bahwa penggal dengan pedang merupakan satu-satunya cara Islami dan selainnya bukan, menisbatkan sesuatu kepada Islam bukan perkara remeh, karena belum tentu Islam seperti itu, jika Islam bukan seperti yang dia katakan maka dia telah berdusta atas nama Islam.
Ada dua perkara yang layak diperhatikan dalam hal pancung dengan pedang yang kata sebagaian orang adalah cara Islami dan selainnya bukan. Pertama, Haditsnya dhaif, sebagaimana yang telah disinggung didepan. Kedua, pedang hanyalah alat di mana ia menerima perkembangan sejalan dengan kemajuan manusia. Nabi saw berperang dengan pedang, tombak, panah dan alat-alat lain yang tersedia pada zamannya. Apakah penggunaan alat-alat ini dalam perang termasuk perkara ta’abbudi yang tidak boleh dirubah? Ataukah karena memang ala-alat inilah yang tersedia pada masa itu? Yang kedua ini lebih zhahir dan lebih jelas. Penulis tidak berspekulasi jika mengatakan, sendainya bedil, pistol, senapan laras panjang dan lain-lainnya telah dibuat dan tersedia pada masa itu, niscaya Nabi saw tidak menolak menggunakannya.
Kembali kepada pedang dalam hukuman mati, ia digunakan pada masa itu lebih karena ia adalah cara yang memungkin dan termudah pelaksanaannya, berarti hal ini tidak menutup kemungkinan selain pedang bisa mengambil peran pedang dalam perkara ini. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MUDAH-MUDAHAN SEMUANYA BERMANFAAT...